Jingga tahu terpuruk tidak akan menyelesaikan masalah. Yang ada ia kesal sendiri dan buang energi. Beruntung ia punya Hazel dan Pinggala, Jade dan Indranila tak lupa bonus Lazuli. Dengan gaya slengehannya, meski Lazuli tidak bisa mengobati luka hatinya tapi ada untuk mewarnai harinya.
Jika Dewangga saja bisa begitu, Jingga pun bisa. Ia tak ingin memelihara dendam walau rasa kesal itu nyatanya masih ada.
"Laki-laki yang berkomitmen dan serius, ia akan datang menemui orang tuamu dan melamar."
Jingga yang tak sengaja membuka media sosialnya, merasa tertampar dengan sebuah quotes. Dan jika flashback ke belakang, di antara dirinya dan Dewangga memang tak ada komitmen apapun. Hanya bermodal saling nyaman dan percaya meski pada kepercayaan itu rusak juga.
"Benar, komitmen adalah bukti keseriusan. Yang betul-betul tahu dan dibuktikan akan berakhir seperti apa dan bagaimana, bukan suatu kelakuan yang malah nggak ketahuan akan dibawa ke mana," gumam Jingga kembali menelusuri media sosial.
ko·mit·men n perjanjian (keterikatan) untuk melakukan sesuatu
Lagi-lagi Jingga menemukan apa yang tengah berkelebat di kepalanya. Dari arti berdasarkan KBBI saja makna komitmen adalah perjanjian dalam kurung keterikatan, yang artinya ada kepastian. Dan dari semua pengertian itu tak ada satupun ada di dalam diri Dewangga.
Jingga teringat salah satu tanda seseorang itu berjodoh adalah memiliki kemiripan satu sama lain. Bukan kemiripan fisik melainkan akhlak dan pola pikir, sebab jodoh adalah cerminan diri.
Melihat hal itu, rasa-rasanya memang sudah pertanda tak ada jodoh antara dirinya dengan Dewangga. Apalagi tanpa adanya komitmen pasti, hanya berlandaskan rasa nyaman satu sama lain ditambah prinsip jalani saja dulu. Sungguh membuang waktu sia-sia.
Setelah menelaah semuanya, ia langsung beristighfar. Ia pun berjanji akan hidup sesuai tuntunan-Nya, mungkin tidak bisa langsung tapi pasti akan dilakukannya. Hal lain adalah mulai berdamai dengan semuanya juga memaafkan Dewangga dan keluarganya. Sebab sejujurnya, ucapan tinggi hati ibu Dewangga tak bisa serta merta dilupakannya begitu saja termasuk sifat lelaki itu yang ia anggap plin plan.
Jingga paham jika Dewangga sosok anak berbakti kepada orang tua tetapi jika baktinya menyakiti orang lain yang berbuat salah kepadanya atau mereka, rasanya hal itu tak bisa dianggap sebagai sikap terpuji. Kecuali jika ia pernah menghina mereka, kenyataannya justru sebaliknya.
"Tiba-tiba ingin nyanyi lagu Tri Suaka Aku Bukan Jodohnya yang sering dinyanyikan salah satu penyiar radio resmi Matra udara," gumam Jingga yang berkat Dewangga ia jadi mengenal radio tersebut. "'Kan kuikhlaskan dia. Tak pantas ku bersanding dengannya. 'Kan kuterima dengan lapang dada. Aku bukan jodohnya. Ya, meski aku nggak merasa salah sih di sini. Ikhlas, ikhlas."
Entah mengapa dan bagaimana, setelahnya Jingga merasa lega. Sedikitnya ia sudah bisa berdamai dengan diri sendiri. Semua sudah terjadi, ia hanya bisa bergerak maju bukannya mundur. Tentu hatinya masih mengganjal, rasa kecewa itu masih ada. Bagaimana pun mereka bukan saling mengenal sehari dua hari. Betul kata pepatah, jika dalamnya samudera saja tak terukur apalagi hati manusia. Butuh seumur hidup untuk menyelaminya agar bisa mengenal seseorang dengan baik.
"Haaah," desah Jingga keras. Ia menarik dan menghembuskan napasnya sekeras mungkin seolah membuang beban yang selama ini ada di hatinya.
Jam dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh malam dan ia memutuskan untuk menyalakan radio sambil menunggu kantuknya datang. Rasanya ia lebih butuh hiburan mendengarkan orang-orang berinteraksi daripada hanya mendengar playlist lagu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Jingga (Slow Update)
Fiksi UmumJingga tak pernah menyukai senja seperti Dewangga menyukainya. Baginya senja meski indah tapi kehadirannya hanya sebentar dan berganti malam gelap, seperti hatinya yang merasakan keindahan sesaat kemudian menggelap hingga Langit datang. Mampukah Lan...