Sudah tiga hari Lazuli cuti dan selama itu pula ia menemani Jingga. Memaksa mengantar jemput perempuan itu kerja dengan alasan memanaskan mesin mobil.
Seperti kali ini.
"Sudah dijemput tuh," kata Gandaria, senior teman kerja Jingga.
"Iya, duluan ya, Mbak," pamit Jingga sembari meninggalkan apotek. Ia beruntung selama ini Dewangga jarang mengantar-jemputnya, terkadang juga Hazel atau anggota lain yang melakukannya sehingga ia tidak dipandang curiga atau digoda. Apalagi postur tubuh mereka semua serupa satu sama lain.
Hanya saja, ia mendadak berhenti di pintu apotek saat melihat seseorang yang berbicara dengan Lazuli.
"Mbak Jingga, sudah?" Lazuli melambaikan tangannya begitu melihat Jingga karena posisinya menghadap ke arah apotek.
Mendengar hal itu, Dewangga, ya Dewangga seseorang yang berbicara dengan Lazuli otomatis menoleh dengan ekspresi tak kalah terkejutnya. Ia menatap Jingga dan Lazuli bergantian.
Dengan langkah kaku, Jingga berjalan mendekati kedua lelaki itu. Lazuli tepatnya.
"Halo, Wa," sapa Jingga dengan senyum yang tak selebar biasanya.
"Kenal?" tanya Lazuli sambil menunjuk Jingga dan Dewangga bergantian menggunakan kunci kontak mobil.
"Kok kamu juga kenal? Dia yang mau kamu jemput?" tanya Dewangga penasaran pada Lazuli tapi jarinya menunjuk pada Jingga.
"Iya." Lazuli mengangguk. Detik itu juga ia memahami siapa Dewangga berkat atmosfer berat di sekitarnya yang cukup terasa. "Masku kan rumahnya sebelahan sama rumah Masnya Mbak Jingga. Jadi selama cuti ini, kalau Mas Hazel nggak bisa jemput, aku yang jemput," tambahnya buru-buru karena bagaimanapun Dewangga juga temannya dan ia tak ingin ada salah paham terutama jika dilihat dari cerita Jingga, nanti malah nama perempuan itu yang jelek dan dikira mudah berpindah ke lain hati.
Dewangga mengangguk sambil menepuk pelan bahu Lazuli. "Hati-hati kalian pulangnya. Aku mau beli obat dulu. Duluan ya, Jingga, Laz," katanya, tersenyum, lalu meninggalkan keduanya.
Jingga memang melihat wajah Dewangga sedikit pucat tapi agak aneh juga jika sampai beli di apoteknya di luar yonko.
"Nanging tak lali lali tan biso lali. Kuatir ya? Cieee ... (Namun kucoba lupakan tetap tak bisa lupa)" goda Lazuli sambil menyenandungkan lagu Sotya.
"Berisik! Ayok ah!" ajak Jingga agar mereka segera
"Nimas sesotyaning ati, yomung ndiko kang sawiji, (Engkau permata hatiku, hanya kamu satu-satunya)" lanjut Lazuli berdendang sambil membuka pintu mobil dan menyilakan Jingga masuk lebih dulu baru setelah itu ia menyusul. "Jadi Dewangga nih?" tanyanya sambil menyalakan mesin mobil.
"Kok kenal?" Jingga balik tanya.
"Ya kenal aja," jawab Lazuli sembari fokus ke spion untuk mundur dan meninggalkan pelataran apotek.
Jingga langsung menghela napas kasar.
"Dewangga baik lho setahuku, aneh jadinya kalau tahu cowok yang kalian maksud ternyata dia," kata Lazuli tak habis pikir.
"Nggak usahlah dibahas lagi."
"Mungkin alasan orang tuanya nggak kasih restu Dewa sama orang lain karena memang sudah disiapkan calonnya, sementara mungkin Dewa nggak tahu itu." Lazuli mencoba mengurai.
"Hilih, pretlah. Wong dari awal juga nggak pernah ngenalin aku kok ke orang tuanya meski pernah ketemu beberapa kali jadinya aku cuma dianggap sebagai adiknya Mas Hazel aja," gerutu Jingga kesal jika ingat lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Jingga (Slow Update)
Fiksi UmumJingga tak pernah menyukai senja seperti Dewangga menyukainya. Baginya senja meski indah tapi kehadirannya hanya sebentar dan berganti malam gelap, seperti hatinya yang merasakan keindahan sesaat kemudian menggelap hingga Langit datang. Mampukah Lan...