Jingga izin libur kerja selama sehari karena sepupunya menikah dan ia diminta menjadi kembar mayang. Ia pulang ke Surabaya sendirian sebab Hazel baru bisa menyusul lepas dinas hari Sabtu langsung ke Surabaya dan datang saat resepsi tanpa bisa mengikuti serangkaian upacara.
Ia sendiri berangkat sepulang kerja menggunakan bus. Sejak pandemi, ia hampir tidak pernah pulang. Kali ini ia memilih naik bus patas agar bisa segera sampai Surabaya.
Sesampainya di terminal, Jingga segera keluar agar bisa memesan ojek daring yang bisa membawanya ke rumah orang tuanya di perumahan pinggiran Surabaya. Beruntung ia segera mendapatkan ojek sehingga tak perlu menunggu lama di pinggir jalan.
Tiba di depan rumah, Jingga pun turun. Ia melepaskan helm dan mengembalikan ke driver yang segera pergi mencari penumpang lain tanpa menunggu pembayaran sebab sudah dibayar non tunai.
Rumah sederhana berkamar tiga dengan cat dinding putih dan pintu serta jendela berpelitur cokelat. Ia membuka pagar besi cokelat yang ditutup tapi tidak digembok lalu masuk. Tampak sepi.
Dengan menggunakan kunci cadangan yang dimilikinya, Jingga membuka pintu dan masuk begitu saja.
"Assalamu'alaikum!"
Tak ada sahutan sama sekali. Jingga merasa mungkin kedua orang tuanya pergi ke rumah sepupunya di blok sebelah. Besok pagi adalah akad nikahnya.
Jingga pun menutup pintu, meletakkan tasnya di kamar dan segera mandi. Baru selesai ganti baju, perutnya berbunyi menagih jatah. Ia pun ke dapur ternyata tak ada makanan apapun kecuali mie instan tapi ia sedang malas memasak. Akhirnya ia mengambil ponsel dan memesan ayam geprek.
Sambil menunggu, ia menonton TV. Rindu sekali dengan rumahnya.
Jika dipikir lagi seharusnya Surabaya menawarkan lebih banyak lowongan pekerjaan dan memang ada hanya saja ternyata rezekinya berada di Malang. Ia bersyukur Hazel juga ditempatkan di Malang setelah lolos seleksi anggota TNI angkatan darat dan selesai menjalani diksar dan kecabangan. Hal itu membuatnya tak perlu mencari tempat kos.
Ayam gepreknya datang bertepatan dengan orang tuanya pulang.
"Lah, kamu nggak ngomong kalau sudah sampai. Tadi Mama lupa bawa hape dan nyuruh kamu ke rumah Tante saja dulu sekalian makan di sana," kata Nusaindah, Mama Jingga sembari melepas kerudungnya.
"Males ah, Ma, banyak orang, sungkan. Masa cuma datang tapi nggak bantuin?" sahut Jingga yang berjalan ke meja makan, menarik satu kursi dan duduk di sana.
"Iris nyariin tadi." Nusaindah ikut duduk di sebelahnya.
Sementara Soga, Papa Jingga di kamar mandi.
"Besok Masmu sama Mbakmu ke sini jam berapa?" tanya Nusaindah.
"Katanya lepas dinas sih. Langsung ke resepsi, nginep di sini, besok ikut iring-iring terus langsung balik Malang," jawab Jingga lalu menyuap nasinya.
"Kamu langsung balik ikut Hazel?"
Jingga mengangguk.
Tak lama Soga keluar dari kamar mandi dan gantian Nusaindah yang masuk.
"Sehat, Pa?"
Soga duduk di kursi yang tadi ditempati oleh istrinya dan meminum tehnya yang sudah dingin. "Sehat."
Jingga mengangguk. Sejak terkena stroke, gerakan Papanya tidak selincah sebelumnya tapi ia, Hazel dan mamanya bersyukur organ tubuh papanya masih normal. Tidak mati separuh seperti kebanyakan orang padahal saat serangan sempat bibirnya miring sekali mirip adegan di sinetron.
"Masmu pulang kapan?" tanya Soga.
"Besok sore dari kerja langsung ke sini."
Soga mengangguk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Jingga (Slow Update)
Ficção GeralJingga tak pernah menyukai senja seperti Dewangga menyukainya. Baginya senja meski indah tapi kehadirannya hanya sebentar dan berganti malam gelap, seperti hatinya yang merasakan keindahan sesaat kemudian menggelap hingga Langit datang. Mampukah Lan...