9. Imperfect

519 124 23
                                    

Pulang dari jalan-jalan bersama pasangan Jade dan Indranila, Jingga memutuskan langsung tidur siang. Saking terlelapnya, ia tidak sadar ada telepon masuk.

Barulah ketika terbangun karena azan asar, Jingga mendengar getaran ponsel yang beradu dengan kayu meja riasnya. Awalnya ia pikir ponselnya sendiri karena miliknya pun ia mode getar ternyata ...

"Assalamu'alaikum, halo?" Jingga segera meraih ponsel Langit dan menggeser ikon penerima panggilan. Tertera nama Berry lengkap dengan angka letting berapa sebelum nama selain foto lelaki berseragam loreng dengan baret jingga.

"Wa'alaikumussalam. Maaf dengan siapa saya boleh tahu?" sahut di seberang dengan aksen Jawa. "Diangkat, Lang. Cewek." Tampaknya Berry berbicara dengan Langit.

"Halo, maaf, Mbak, saya Langit yang punya hape yang ada di Mbak sekarang. Tadi hape saya jatuh di sekitar lapangan Rampal. Halo? Halo, Mbak?" Kali ini Langit sendiri yang berbicara pada Jingga. "Bisa tolong kembalikan ke saya? Mbak? Halo?"

"Ya, halo, Mas Langit. Ini Jingga. Iya tadi ketinggalan di sebelah saya," kata Jingga akhirnya

"Mbak Jingga?" Terdengar hembusan napas lega Langit yang tak ditutupi. "Alhamdulillah. Tadi saya telepon Mas Jade tapi belum diangkat juga. Mbak Jingga di mana sekarang? Bisa kita ketemu?"

"Saya di rumah. Maaf, kalau nggak keberatan, Mas Langit ambil sendiri di rumah bisa? Soalnya saya ... "

"Iya, bisa," potong Langit cepat. "Habis ini saya ke sana. Bisa kasih tahu alamatnya?"

"Sebelah kiri rumah Mas Jade," kata Jingga seraya menyebutkan alamat lebih detail lagi.

"Oh, ya ya. Saya ke sana. Makasih ya sudah simpenin hape saya. Assalamu'alaikum," ucap Langit tulus.

"Sama-sama. Wa'alaikumussalam."

Tak lama sambungan terputus. Jingga pun meletakkan kembali ponsel Langit dan segera keluar kamar untuk mandi dan wudu.

Ketika Jingga baru selesai menyapu, Hazel yang sedang mencuci motor di carport, memanggilnya.

"Kamu ambil hape orang?" tanya Hazel dengan pandangan menyelidik.

Jingga yang sedang menyimpan sapu di belakang pintu dapur cemberut. "Sembarangan! Temennya Mas Jade tuh. Mas Lazuli juga," sewotnya kemudian menceritakan bagaimana ponsel itu ada di tangannya.

"Temannya Dewangga," gumam Hazel.

"Masa?" pekik Jingga setengah berbisik.

Hazel mengangkat bahunya. "Buruin temui sana, kasih hapenya." Setelah berkata begitu ia kembali ke depan.

Jingga pun segera mencuci tangannya. Setelah itu ia segera ke depan menemui Langit. Lelaki yang langsung duduk tegak meski dengan penampilan santai celana kain khaki dan kemeja berpotongan modern polos warna coral.

Serius Mas Langit pakai baju warna itu? Harus gitu nunjukin identitasnya dari warna baju? Atau aku yang terlalu sensitif? gumam Jingga antara heran dan geli.

Jingga tersenyum padanya. "Saya ambil dulu ya?" Lalu tanpa menunggu jawaban, ia masuk ke dalam dan tak lama keluar lagi dengan ponsel di tangan. Ia meletakkan ponsel tersebut di atas meja sembari duduk. "Ini hapenya Mas Langit. Tadi saya mau kasih ini ke Mas Jade tapi malah saya disuruh bawa. Katanya mungkin lebih mudah ambil di apotek daripada ke sini."

Langit mengangguk dengan ekspresi tak terbaca. "Terima kasih ya sudah disimpankan."

"Saya nggak ambil loh. Kalau Mas Jade nggak maksa, saya nggak mau bawa, tanya aja dia di sebelah," terang Jingga seketika. Ia tak suka dengan ekspresi Langit.

Langit Jingga (Slow Update)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang