Happy happy happy... no, sad :)
•••
"Dokter jangan bercanda dong, saya gak suka."
Minhyun memijat keningnya pelan, dengan kacamata yang kemudian merosot dari pangkal hidungnya. Ia pusing.
"Saya gak bercanda Haruto. Pasien bukan bahan untuk candaan," tegas Minhyun kesekian kalinya.
Haruto mengernyit, tangannya terlipat di depan dada. "Saya tau. Tapi saya juga bingung. Kalian merundingkan ini semua tanpa saya. Sedangkan kalian menugaskan saya untuk menjaganya. Memangnya saya gak berhak tau apa yang bakal dia lakukan kedepannya?"
"Bukan—"
"Maaf kalo saya menyela. Tapi eutanasia bukan jalan terakhir, kan? Pihak rumah sakit memangnya sudah menyerah?"
Untuk kesekian kalinya Minhyun menghela napas. Haruto pikir yang selama ini dia lakukan apa? Hanya bermain-main dengan nyawa pasien? Minhyun tidak habis pikir.
"Bukan menyerah, tapi memang udah gak ada jalan lagi. Kemo atau terapi yang selama ini dia lakukan yang gak berdampak banyak karena kanker yang hinggap di tubuhnya sangat ganas. Sedangkan tubuh dia juga udah nolak semua pengobatan yang diberikan. Kamu tau kan, segala hal yang dipaksakan itu gak baik?" jelas Minhyun.
"Saya tau, tapi—" Haruto menggantung ucapannya, bahunya kemudian bersandar pada kursi. "Apa udah gak ada jalan lagi? Harapan kecil?" tanyanya lirih, nyaris putus asa.
"Ada, jalan satu-satunya ya kalau kita ketemu sumsum tulang belakang yang cocok dengan punya Junkyu. Tapi itu bener-bener kecil."
"Dokter Jisu? Pendapat beliau apa?"
"Saya gak tau, dia selalu diam tiap rapat. Dia tutup mulut, gak mau bicara kalau kami bahas tentang Junkyu."
Sulit. Ini pilihan yang sulit.
Haruto juga sebenarnya bingung, tidak tau harus berbuat apa. Jabatannya hanya residen, tidak setinggi dokter Minhyun ataupun dokter Jisu. Dia tidak bisa melakukan apa-apa, pendapatnya tidak akan didengar.
Tapi dia tidak akan pernah setuju dengan tindakan yang dokter Minhyun dan tim nya pilih. Eutanasia bukan jalan terakhir. Haruto tidak setuju dan tidak akan pernah setuju.
"Itu plan A, tim saya masih punya plan B," ujar Minhyun agak pelan.
Sontak Haruto menoleh. "Plan B?"
"Em. Tapi kami juga gak setuju dengan pilihan ini," Minhyun menyisir rambutnya kebelakang, membenarkan letak kacamatanya. "Plan B kami adalah memaksa tubuh Junkyu sampai dia bisa sadar. Mau itu beberapa bulan, atau tahun asalkan dia bisa sadar kembali."
Kening Haruto kembali berkerut. "Konsekuensi?Biaya?"
"Saya yang tanggung, memang banyak toh juga selama ini saya yang menanggung."
Tidak tidak, bukan itu maksud Haruto. Memang dia tidak setuju tidak semua berakhir dengan eutanasia, tapi juga bukan berarti dia setuju dengan pilihin yang ini.
Rumit, semuanya terlalu rumit untuk bisa orang awam mengerti. Haruto saja sudah terlalu pusing untuk mencoba mengerti semuanya.
Tadi, dokter Minhyun mengatakan segala hal yang dipaksakan itu tidak baik. Dan sekarang dokter itu mengatakan untuk memaksa tubuh Junkyu selama bertahun-tahun jika dia memang bisa kembali sadar.
Dan ya, semua itu belum termasuk konsekuensi yang harus mereka tanggung. Jika Junkyu tetap tidak akan sadar walau sudah bertahun-tahun mereka jalani, bukankah sama saja dengan membuang uang biaya pengobatan? Dan bukankah itu juga sama saja dengan terlalu memaksakan?
KAMU SEDANG MEMBACA
best part; harukyu [✓]
Fanfiction[short story: completed] ❝Kalau aja dikasih waktu sehari untuk buat kamu bahagia, saya bakal buat hari itu menjadi bagian terbaik yang pernah kamu rasakan di sepanjang hidupmu.❞ Tentang Kim Junkyu si pasien ceria dan Watanabe Haruto si residen yang...