Chapter 7. Tanggung jawab Alea

106 20 1
                                    


"Ahhh sakit Den!!"

"Udah dong, sakit nih!!"

Alea kembali menjerit saat Raden memijat pergelangan kakinya yang ternyata keseleo. Dia masih berada di atas sofa, sedangkan Raden terduduk di karpet berbulu di bawah sofa. "Bentar lagi Al, tahan oke."

"Sakit.." Rintih Alea tak sadar meneteskan air mata. Dia menatap Raden yang masih memijat kakinya, sedangkan dirinya pun berteriak kencang ketika rasa sakit mulai terasa. Entah seperti apa jatuhnya tadi, sehingga kakinya ini bisa keseleo.

Alea terus saja mengeluarkan air matanya, sampai akhirnya Raden pun menyudahi aktivitas nya dan saat itu pula Alea berhenti menangis.

"Udah." Raden membereskan minyak pijat dan menaruhnya di tempatnya semula.

Alea mengusap air matanya kasar, dia mencoba untuk menggerakkan kakinya. Kemudian mengerjapkan bulu matanya berkali-kali, ini sungguh ajaib! Mengapa sekarang tak ada rasa sakit sama sekali? Dia sedikit penasaran dengan Raden, apakah cowok itu sebelumnya adalah tukang pijat? Ah sudahlah! Yang terpenting adalah kakinya sekarang sudah tak apa.

"Baru kali ini gue, lihat cewek judes nangis." Celetuk Raden sembari membawa segelas air putih. Dia menyodorkan gelas itu kepada Alea. "Minum."

Alea menerimanya dan langsung meneguk air minum itu hingga tandas. Setelah gadis itu menurunkan kedua kakinya, Raden mendaratkan bokongnya di samping Alea. Alea menggeser duduknya, seolah ia tak ingin berdekatan dengan Raden.

Gadis itu berdehem pelan, "Makasih."

Raden tersenyum lebar lalu menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa. "Di dunia ini nggak ada yang gratis."

Alea menatap Raden sekilas, kemudian memalingkan wajahnya kembali. "Nggak usah aneh-aneh, deh."

Raden mendekati telinga Alea, "Jadi, lo mau yang aneh-aneh?"

Alea sontak menjauhkan kepala Raden dari wajahnya, dia melihat cowok itu sedang tertawa kecil. Alea tak menghiraukan Raden. Saking sakitnya kaki Alea, dia jadi tak sempat melihat apartemen Raden. Di ruangan ini beraroma maskulin, yang membuat Alea betah. Apalagi sofa yang ia tempati ini terasa sangat empuk dan nyaman. Di depannya ada televisi dan meja kecil, lalu ada dua bunga Daisy beserta pot nya, dan di taruh di atas meja kecil di samping sofa.

Kemudian meja makan beserta empat kursi, dapur pun sudah terlihat dari sini. Walaupun tak luas, tetapi entah mengapa Alea suka dengan dekorasi ini. Untuk kamar, ia tak tahu, toh juga bukan urusannya.

Kedua matanya tak sengaja melihat jam dinding yang menunjukkan pukul duabelas malam. Dia melototkan matanya, sudah semalam ini dan dia masih berada di apartemen Raden?

Alea berdiri, dia menatap Raden datar. "Gue pulang."

Alea tak ingin terjadi salah paham antara dirinya dengan Raden. Lagipula tak baik jika seorang gadis berduaan dengan lelaki di rumah seperti ini.

Dia juga ingin cepat-cepat pulang ke rumah agar bisa mandi, ganti baju, kemudian tidur di kasur kesayangannya. Untung saja rumahnya ia kunci dan..

Alea melotot kaget, jantungnya berdetak kencang ketika mengingat kunci rumahnya ia taruh di keresek hitam tadi. Dia jadi lebih panik, apakah malam-malam begini ia akan mencari kunci rumahnya di tempat ia jatuh tadi? Ini sungguh tak mungkin.

Ingin menginap dirumah Caca juga tak mungkin, rumah gadis itu selalu ditutup setiap jam sebelas malam dan tak enak jika ia mengganggu yang lain. Ponselnya juga ada di dalam rumah. Astaga, betapa malangnya Alea.

Harus tidur dimana dia? Hotel? Tidak, mau pakai uang apa jika uangnya aja cuma sisa sepuluh ribu.

Mungkinkah.... ia menginap di apartemen Raden? Alea menggeleng berkali-kali, dia harus menghilangkan akalnya yang sudah gila ini.

El, Al & Ed (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang