Chapter 9. Jadi penguntit?

77 22 1
                                    


Raden mengendarai motornya dengan kecepatan yang sedang, dia sangat terkejut bukan main ketika tak mendapati Alea di apartemennya. Raden sangat khawatir, dia tahu jika Alea tak membawa ponsel dan uang. Tau gini tadi ia bolos sekolah buat nganterin Alea pulang.

Cowok itu sangat menajamkan matanya di sekitar jalan yang ia lewati dengan motor besarnya.

Sebenarnya ia ingin memastikan bahwa Alea baik-baik saja, apakah gadis itu sudah sampai di rumahnya? Tetapi Raden tak tahu dimana letak rumah Alea.

Dia menepi di pinggir jalan, kemudian tangannya merogoh saku celananya dan mengambil ponsel.

"Halo."

"...."

"Cari alamat rumah temen gue,"

"...."

"Sekarang juga, gue tunggu."

•••

Alea terbaring nyaman di kasurnya. Dia menghela napasnya lega dan menatap langit-langit kamarnya. Gadis itu kemudian terduduk dengan rambut yang acak-acakan. Tangannya membuka laci kecil yang terletak di samping kasur.

Ia mengeluarkan sebuah bingkai foto yang unik.

Alea memandangnya sangat lama, lalu tak sadar air matanya tiba-tiba mengalir begitu saja. Mengapa dia belum keluar dari masa lalunya? Ini sangat membuat dia sengsara, namun dia sangat sulit untuk melupakannya.

"Gue nggak boleh jatuh cinta sama cowok lain." Gumam Alea sembari mengelus foto itu. Ada banyak kenangan terindah bersamanya, namun ia hanya simpan dalam hati dan ingatannya. Foto ini, dan hanya ini, adalah foto satu-satunya yang Alea punya.

Alea kembali merebahkan tubuhnya dengan memeluk bingkai foto itu. Dia kembali dalam dunia kegelapan nya yang dulu. Seolah dunia tak membiarkan dia bahagia selamanya. Ada kisah yang belum selesai dalam percintaannya.

Dia menghapus air matanya kasar, "Cengeng."

Alea bangkit, dia menyimpan benda itu di dalam almari pakaian minimalis yang tidak terlalu besar. Dia bercermin sebentar, karena ia sempat tertawa kecil melihat wajah sembabnya yang sangat memalukan dimatanya.

Tak ingin meneruskan tangisannya, Alea memutuskan untuk keluar dari kamarnya. Setelah menuruni tangga, saat ini dia sudah berada di bawah. Alea menghampiri dapur, dia menuangkan air dari teko ke gelas dan meneguknya.

Saat hendak mengambil piring, kegiatan nya terhenti karena dia mendengar suara ketukan pintu di depan. Alea mengerinyitkan dahinya, jika Mama nya sudah pulang pasti langsung masuk ke rumah. Dan jika itu ayahnya, ini tak mungkin. Karena beliau akan pulang Minggu depan. Ayahnya pergi ke luar kota lagi.

Tak banyak pikir, Alea langsung menuju pintu rumahnya dan membuka pintu tersebut. Alea menghela napasnya gusar, "Lo lagi." Ucapnya dengan wajah lelahnya.

Raden tersenyum, "Untung lo udah pulang."

"Emangnya kenapa?" Tanya Alea datar, "Ngapain lo nggak bangunin gue kemarin? Gara-gara lo, gue jadi bolos sekolah tau nggak!" Ujar Alea dengan nada yang tak bersahabat. Melihat wajah Raden, ia jadi ingin marah dan mengamuk sekalian disini.

"Iya, maaf Al, besok-besok gue izinin lo deh pas nggak sekolah."

"Nggak perlu!" Sewot Alea.

El, Al & Ed (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang