9. Luka Itu...

20 1 0
                                    

Warning! Terdapat adegan kekerasan.

★★★

Sesuai dengan jadwal nongkrong yang sudah Dira siapkan setiap minggunya, malam ini Naya sudah berada di kafe tempat gebetan Dira bekerja sambil menunggu Dira memesan pesanan mereka.

Bersyukurlah karena mereka berdua sudah datang lebih awal di banding Mella ataupun Adit. Bagaimana tidak? Naya yakin kalau di kafe ini sudah tidak ada lagi tempat yang tersedia karena memang ini malam Minggu, dan tentu saja kafe yang baru buka ini di penuhi oleh pengunjung.

Tadinya, mereka mau pergi ke restoran dekat rumah Mella yang katanya juga sedang ada promo besar-besaran, tapi berhubung Dira sedang gencar-gencarnya mendekati si barista ganteng di kafe ini, jadilah rencana mereka berubah. Dira bahkan sampai mohon-mohon dan berjanji akan mentraktir Naya, Mella dan juga Adit hanya demi mengubah tempat nongkrong mereka.

"Mella sama Adit belum dateng?" Dira datang membawa dua gelas kopi di tangannya.

"Tadi gue pesen apa emang?" Tanya Naya yang merasa tidak memesan apapun pada Dira.

Seperti biasa Dira cengengesan sebelum menjawab. "Spice Cappuccino, Nay.."

Naya berdecak sebal. Dira memang selalu seenaknya. "Terus lo itu pesen apa?"

"Latte."

"Yaudah sini tuker."

Dira menggeleng keras. "Nggak boleh. Ini khusus dibuatin Bian buat gue. Nih lihat, latte art nya bentuk love Nay."

"Bian siapa?" Tanya Naya tanpa repot-repot melihat latte art yang dimaksud Dira.

"Itu si barista ganteng calon jodoh gue Nay."

"Halu." Komentar Naya. Saat ini dia sedang sangat malas menanggapi ke-haluan Dira.

Dira mengangkat bahunya tidak peduli kemudian duduk di hadapan Naya. Menaruh gelas berisi latte tadi di atas meja, membenarkan posisinya menjadi seindah mungkin hanya untuk diabadikan dalam sebuah foto. Sekonyol itulah kehidupan seorang Dira Claudia.

"Btw Nay, emang yang di bilang anak-anak kelas kemarin bener ya? Lo sama Damara ada hubungan apa sampe dia mau di suruh ngambil rok lo di loker?"

Naya menyeruput minuman yang seenaknya dipesan Dira tadi lalu menjawab dengan santai. "Abis kemarin waktu kesusahan, temen gue sendiri lebih milih seblak dibanding bantuin gue. Yaudah gue suruh dia aja."

"Nyindir gue mulu deh." Dira mencubit sebal tangan Naya, "kan gue udah minta maaf kemarin. Lagian lo tau kan seberapa sedap seblak bikinan Bu Ika? Mella aja sampai ngantri setengah jam kemarin."

Naya mengiyakan ucapan Dira. Sebelum beberapa saat kemudian Mella dan Adit datang bersamaan dengan berbunyi nya handphone Naya yang diletakan di atas meja.

"Di angkat kali mbak, ada yang nelepon tuh." Ujar Mella yang baru datang dan langsung duduk di sebelah Naya.

"Males ah. Telepon iseng kali." Ujar Naya karena memang tidak ada nama dari si penelepon.

"Lah? Jangan-jangan itu Damara, Nay." Dira ikut menimpali.

"Mau pesen apa Mel?" Tiba-tiba Adit mengacaukan acara ghibah ketiga sahabat ceweknya.

"Kayak biasa Dit." Ujar Mella sambil mengernyit sebal. Bagaimana tidak? Adit kan sudah pasti tahu apa yang selalu di pesan Mella. Kenapa juga cowok itu bertanya?

Setelah tahu kalau yang dimaksud Mella dengan 'kayak biasa' itu adalah Caramel Macchiato, Adit langsung berlalu untuk memesan.

"Tuh liat deh. Dia nelepon lagi Nay." Ujar Dira sambil menunjuk pada handphone Naya yang kembali berdering.

DAMARA (Luka Kita)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang