( 21+ ) 10. 10 PM
Acara private party Tommy berlangsung sekitar lima jam. Para tamu sudah pulang sejak pukul sembilan. Tommy dan Joanna juga sudah kembali ke masing-masing kamar guna membersihkan diri dan istirahat. Sebab, begitu banyak hal yang telah mereka lakukan seharian. Dimulai dari datang ke makam, persiapan acara, sampai menyapa dan ikut berbasa-basi dengan sekitar 200 orang yang datang.
Sebagai calon istri orang terpandang. Joanna tentu harus bisa mengimbangi arus Tommy. Terlebih, ada kakek dan nenek Tommy yang mengawasi. Joanna tentu saja tahu diri dan tidak mungkin mengacau hanya karena lelah berjam-jam memakai heels.
"Masuk!"
Joanna langsung membuka pintu kamar Tommy. Karena dia baru saja mendapat pesan untuk segera mendatangi kamar Tommy setelah mandi. Kamar lebar dengan pemandangan gedung pencakar langit serta perapian kecil yang membuat suasana kamar terasa begitu nyaman sekali.
"Ada apa?"
Tanya Joanna sembari duduk di tepi ranjang. Dengan satu tangan yang masih memegang handuk kecil guna mengeringkan rambutnya yang masih basah.
Tommy yang sudah selesai mandi lebih cepat, kini sudah memakai kaos polos dan celana piyama. Rambutnya juga hampir kering sempurna karena sempat digosok kasar dengan handuk mandi sebelum Joanna datang. Berbeda dengan Joanna yang sudah memakai baju dan celana piyama panjang tanpa dalaman yang sekarang sedang menekan kepala dengan handuk super pelan karena takut rambutnya semakin rontok jika tidak diperlakukan secara cermat.
"Pacar Celine, kamu masih menyukai dia? Tidak perlu takut, aku tidak akan marah. Santai saja, jangan tegang!"
Tanya Tommy dengan nada bercanda, membuat Joanna yang awalnya terkejut, kini mulai mendengus sebal sembari melempar haduknya pada Tommy yang sudah ikut duduk di sampingnya.
"Sejak kapan aku mengatakan suka dia? Kalaupun suka, itu hanya sebagai teman! Tidak lebih dan tidak kurang!"
Ucap Joanna sembari pindah tempat ke tengah-tengah ranjang. Lalu duduk bersila menatap depan, alias pada gedung pencakar langit yang lampunya masih belum padam.
"Kalau kamu masih menganggap dia teman, lalu kenapa tadi pura-pura tidak dengar ketika dia memanggilmu sebelum pulang?"
Kedua mata Joanna sudah berkaca. Namun dia tidak berani menatap wajah Tommy yang sudah menatapnya.
"Dia yang memulai. Dia pura-pura tidak mengenalku di depan Celine. Apa salah kalau aku ikut tidak mengenalnya tadi?"
Air mata Joanna sudah mengalir sekarang. Membuat Tommy terkekeh pelan dan ikut pindah ke tengah-tengah ranjang. Mendekap tubuh Joanna erat-erat dan mengusap air matanya pelan.
"Kenapa kamu ini suka sekali menagis, sih!? Aku hanya bertanya, tidak sedang marah! Aku tidak masalah kalaupun kamu mengatakan suka pada laki-laki lain. Atau bahkan membatalkan pertunangan yang baru berjalan sekitar enam bulan terkahir. Joanna, kita sudah sepakat akan hal ini. Jangan sembunyikan apapun dariku dan aku akan memberikan apapun yang kau mau. Aku bukan laki-laki romantis. Bukan juga laki-laki melankolis yang bisa mengatakan cinta dengan mudah seperti ini. Tapi, satu hal yang harus kamu tahu. Aku bukan orang egois. Aku memang menyukaimu. Namun, jika kamu menyukai orang lain dan tidak memilihku, aku tidak masalah. Aku tidak akan marah apalagi memaksa. Justru aku akan mendukung kalian. Karena cintaku padamu tanpa syarat, seperti apa yang kakek nenek berikan padaku ketika kedua orang tuaku tiada. Mereka tidak marah ketika kutinggal belajar di luar. Padahal, saat itu mereka sedang terlilit hutang. Namun, mereka bisa menerima dan mampu bertahan hingga aku kembali pulang dan memulihkan semuanya. Jadi, jangan takut jika kamu ingin memutuskan hubungan. Aku tidak akan marah jika itu yang kamu takutkan."
Tangis Joanna semakin kencang, saat ini dia bahkan sudah membalas pelukan Tommy. Membuat tubuh mereka semakin rapat saat ini. Seolah lupa jika setiap hari mereka sering bertengkar karena hal-hal kecil.
"Aku tidak menyukai Jeffrey sedalam itu. Aku hanya belum bisa melupakan bayang-bayang Jani jika melihatnya. Aku tahu hal ini bukan 100% salahnya. Tapi, aku belum bisa melupakan semuanya meskipun sudah memaafkan semua kesalahannya. Untuk perasaanku, aku lebih menyukaimu. Lebih dari Jeffrey ataupun laki-laki lain di dunia ini. Tommy, tolong jangan tinggalkan aku seperti Jani."
Tangis Joanna semakin pilu. Bahkan, saat ini dia semakin mengeratkan pelukan karena malu. Sebab, mereka memang sering bertengkar dan jarang bermanis-manis ria seperti itu.
Tommy kembali terkekeh sekarang. Lalu mengambil sesuatu di bawah bantal. Kotak merah berukuran kecil yang berisi cincin perak. Apalagi kalau bukan untuk melamar Joanna sekarang juga. Karena jarang-jarang mereka bisa menemukan momen seindah sekarang.
"Jika kamu lebih menyukaiku. Lalu, apa kamu mau jadi istriku?"
Tangis Joanna terhenti seketika, pelukannya juga langsung dilonggarkan ketika Tommy mulai melepas usapan di punggungnya.
"Tommy!!!"
Pekik Joanna karena terkejut kali ini. Sebab, dia tidak menyangka akan dilamar secepat ini. Oleh laki-laki yang telah disukai sejak beberapa tahun terakhir.
"Aku mau!!!"
Tommy langsung menyematkan cincin tadi pada jari manis Joanna. Karena cincin tunangan mereka sering Joanna lepas ketika di rumah. Gatal jika ditanya. Padahal, itu hanya alasan saja karena cincinnya sedikit kebesaran dan dia enggan bilang karena takut semakin merepotkan.
Setalah cincin tadi terpasang, Joanna langsung mendongakkan kepala. Lalu memejamkan mata guna mendamba ciuman yang akan segera mendarat di bibirnya. Basah, lembut dan hangat. Itu yang dia rasakan. Ini dalah ciuman pertama mereka. Atau, justru malah ciuman pertama Joanna karena dia memang tidak pernah melakukan hal macam-macam ketika berpacaran semasa SMA. Ketika kuliah juga semakin tidak bisa berkutik karena selalu menjadi kambing congek sepupunya.
Hal paling nakal yang pernah dilakukan, tentu saja meneteskan darah jari telunjuknya pada alat vital pacar sepupunya. Agar si sepupu dikira masih virgin oleh pacarnya. Iya, itu adalah pengalaman paling nakal dan bodoh Joanna. Itu sebabnya dia enggan membahas ulang apalagi sampai mengingat hal itu hingga sekarang.
Joanna dan Tommy saling membeli lidah. Hingga membuat tubuh si wanita sudah berada di pangkuan si laki-laki sekarang. Membuat area bawah mereka sama-sama saling bersentuhan dan hanya beralaskan masing-masing celana saja.
"Mau sekarang?"
Joanna mengangguk pasrah. Lalu menggerang tertahan ketika tangan kanan Tommy masuk pada celana piyama panjang yang tengah dikenakan. Bergerak tidak beraturan di bawah sana hingga membuatnya mencapai pelepasan untuk yang pertama dalam seumur hidupnya.
Setengah jam berlalu. Saat ini Joanna sedang menahan tangis karena rasa asing yang baru saja dirasakan saat ini. Penuh, sesak, sakit, tapi enak. Semuanya campur aduk jadi satu sekarang. Hingga membuatnya benar-benar kacau tidak berdaya, hanya bisa mendesah tertahan dan sesekali menggigit bibir bawah sembari menahan perut Tommy agar pusat tubuhnya tidak ditekan terlalu dalam.
"Tahan. Sedikit lagi selesai."
Joanna mengangguk singkat. Keringatnya sudah bercucuran. Dia yakin, bantal yang digunakan pasti sudah basah kuyup sekarang. Mengingat tubuh mereka sama-sama terasa panas dan sudah mengeluarkan banyak keringat.
"Keluar di mana?"
Joanna tidak menjawab. Dia hanya mengangguk pelan dan memeluk pinggang si pemilik suara erat-erat. Pertanda dia memang tidak ingin laki-laki di atasnya cepat-cepat menyingkirkan badan dari tubuhnya.
Mature scene kayak gini, menurut kalian keterlaluan, gak? I mean, terlalu explicit apa enggak? Kalo iya, maybe next chapter bakalan aku perhalus lagi kalo ada.
Ayo, spill scene apa yang paling kalian tunggu-tunggu di cerita ini?
Kalo mau besok tamat, kalian harus semangat kasih komentar, ya!
Tbc...