9. 20 PM
Setelah makan malam, tiba-tiba saja Tommy pamit keluar. Ingin kumpul dengan teman-teman kuliah katanya. Karena Celine baru saja tiba di Indonesia dan mereka belum sempat kumpul dengan teman-teman kuliah ketika masih penempuh pendidikan di Amerika.
Joanna sedang menatap layar televisi. Dia baru saja menghabiskan tiga cup es krim berukuran besar karena kesal ditinggal sendirian. Bukan, sebenarnya bukan kesal karena tidak diajak Tommy reunian. Tetapi kesal karena Tommy tidak kunjung pulang dan membawakan makanan pesanannya.
Karena akhir-akhir ini Joanna memang sering kelaparan meskipun jarang melewatkan waktu makan.
Seperti sekarang, Joanna langsung berdiri ketika mendengar derap langkah Tommy yang baru saja datang. Tentu saja dengan baawaan di tangan kiri dan kanan. Karena Joanna memang sudah memesan banyak sekali makanan sebelum Tommy berangkat. Ada sate ayam, martabak daging, telur gulung, pizza dan masih banyak yang lainnya.
"Kenapa lama sekali, si---h?"
Joanna mematung sekarang. Dia tidak lagi bergerak setelah menatap Jeffrey dan Celine yang sudah berada di belakang tunangannya.
"Kalian bisa bicara sebentar. Aku dan Celine mau menyiapkan makanan. Aku belikan banyak, tenang saja. Ada dimsum kesukaanmu juga."
Awalnya, Joanna ingin memprotes ucapan Tommy. Namun segera diurungkan setelah menghirup aroma berbagai makanan yang sedang dibawa tunangannya saat ini. Membuatnya harus menurut dan mulai menelen liur berkali-kali.
9. 30 PM
"Bagaimana kabarmu?"
Tanya Jeffrey sembari menatap samping kiri. Atau lebih tepatnya pada Joanna yang saat ini duduk di gazebo taman belakang rumah Tommy. Dengan kedua kaki yang sudah diayunkan pelan karena tidak bisa menapak sebab kaki gazebo terlalu tinggi.
"Baik."
Jeffrey tersenyum singkat, lalu menatap Joanna semakin lekat. Membuat Celine dan Tommy yang sejak tadi mengawasi mereka hanya bisa tersenyum masam.
"Aku benar-benar minta maaf untuk kelakuan burukku di masa lalu. Saat itu, aku belum cukup dewasa dan masih dibutakan dengan dendam. Aku tahu, permintaan maafku tidak akan bisa merubah apapun. Hubunganmu dan Jani hancur karenaku. Jani juga meninggal karena---"
"Jani meninggal karena sudah waktunya, bukan karenamu. Aku sudah memaafkan semuanya. Bukan hanya kamu dan Jani yang bersalah. Aku juga. Aku juga ingin minta maaf. Soal liburan pertama kita, waktu kamu mabuk dan---"
"Aku sudah tahu dan sama sekali tidak pernah mempermasalahkan hal itu. Kamu tidak perlu minta maaf. Kamu tidak salah, Jani yang memaksamu dan aku juga sengaja pura-pura tidak sadar saat itu."
Pipi Joanna langsung bersemu ketika mengingat kejadian memalukan itu. Namun tidak bagi Jeffrey yang merasa bahwa itu lucu. Padahal, hal itu bisa disebut sebagai kasus pelecehan seksual karena tidak ada konsensual dalam bentuk apapun sebelum hal itu berlangsung.
"Joanna."
"Hm?"
Joanna masih enggan menolehkan wajah. Apalagi menatap Jeffrey yang sejak tadi tidak kunjung berpaling menatapnya.
"Bisa tatap wajahku sebantar? Aku ingin melihat wajahmu lebih jelas ketika berbicara."
Joanna hanya bisa menghembuskan nafas kesal. Bukannya mengabulkan permintaan Jeffrey, dia justru langsung membuat jarak dan duduk berseder di tepi gazebo. Dengan kedua kaki bersila dan kedua tangan dilipat ke depan. Seolah sedang menantang si lawan bicara.
"Kamu sudah ada Celine! Jangan coba-coba merayuku! Lihat! Sejak tadi dia tidak berhenti menatapku!"
Ucap Joanna sembari melirik Celine dan Tommy yang kini justru sudah memegang cangkir masing-masing. Seolah-olah mereka memang tengah menyaksikan opera saat ini.
"Kamu mencintai Tommy?"
Sebelum bertanya demikian, Jeffrey sempat tertawa singkat dan ikut duduk bersila di depan Joanna. Sehingga Tommy dan Celine tidak bisa melihat wajah mereka.
"Kau pikir? Aku bukan kamu yang bisa berpacaran dengan orang yang tidak disuka!"
Jeffrey tersenyum tipis, lalu mengangguk singkat dan mulai menunduk kali ini.
"Aku dan Tommy juga akan menikah dalam waktu dekat. Kuharap, kamu dan Celine juga akan menyusul kita."
Jeffrey langsung mendongak. Menatap Joanna dengan kedua mata yang sudah berkaca. Hatinya sakit, entah karena cemburu atau tidak rela. Padahal, dia sudah ada Celine yang dirasa sudah dicintai olehnya.
"Kamu serius?"
Joanna mengangguk cepat, lalu memamerkan cincin yang semalam Tommy sematkan.
"Aku ikut senang. Selamat, jangan lupa undang aku dan Celine. Kita pasti datang."
Mengabaikan raut tegang Jeffrey sekarang, kini Joanna hanya mengangguk saja. Lalu menatap Jeffrey yang tampak tidak berubah sejak dulu hingga sekarang. Masih tampan. Padahal, sudah empat tahun terlewat.
"Kamu juga. Semoga cepat menyusul dengan Celine tahun depan."
Jeffrey menyerengitkan alisnya, bingung dengan ucapan Joanna.
"Beberapa jam lagi tahun baru kalau kamu lupa. Tahun ini sebentar lagi akan terlewat."
Jeffrey terkekeh pelan dan mengangguk paham, lalu menahan tangan Joanna yang akan berdiri sekarang.
"Boleh aku memelukmu untuk yang terkahir kalinya? Aku janji hanya sebentar."
Joanna mengangguk singkat, lalu mendekap Jeffrey erat-erat. Karena dia juga merindukan Jeffrey sebenarnya. Mereka pernah dekat. Joanna juga pernah ada dalam tahap menyukai Jeffrey ketika masih menjadi pacar sepupunya, namun hal itu segera ditepis ketika ingat kebaikan keluarga Jani yang mau menampungnya.
Jeffrey juga sama, saat ini dia sudah membalas pelukan Joanna tidak kalah erat. Bahkan membuat tubuh mereka bersentuhan dan dapat mendengar detak jantung masing-masing yang sedang bertalu kencang.
"Aku harap, kita bisa kembali berteman."
Karena hanyut dalam suasana, Joanna mulai mengangguk pelan. Membuat Jeffrey mulai melepas pelukan namun tidak kunjung menjauhkan wajah. Membuat Celine dan Tommy mulai panas dingin sekarang.
Apalagi setelah melihat tangan Jeffrey yang sudah meraih tengkuk Joanna. Lalu saling memiringkan wajah dan memejamkan mata.
Kedua tangan Tommy sudah mengepal, begitu juga dengan Celine yang sudah berjalan cepat menuju gazebo taman. Berniat menarik Jeffrey sekarang juga. Karena mau bagaimanapun juga dia perempuan. Dia mencintai Jeffrey sekarang. Dia memang mau bermurah hati mempertemukan Jeffrey dengan Joanna. Namun, dia tidak akan tinggal diam jika melihat mereka berciuman seperti sekarang.
Tommy juga sama, saat ini emosinya sudah memuncak. Hal pertama yang ingin dilakukan pada Jeffrey sekarang adalah menjambak rambutnya. Lalu memukul wajahnya membabi buta dan menginjak kepalanya dengan sepatu yang sedang dikenakan.
Iya, Tommy memang kejam jika marah. Sebab marahnya orang yang jarang marah memang menakutkan. Karena sebenarnya, selama ini mereka tengah menahan bom atom yang sedang menunggu waktu untuk diledakkan.
Tenang, Jojeff kalian aman :)
Dua chapter lagi ending, ready? Kalo rame, aku bakalan cepet update lagi.
Tbc...