Dua.

69 19 0
                                    

20 tahun.

Zoya memandang lilin berbentuk angka yang sedang dipegangnya.

"Lama-lama tuh lilin bisa nyala lagi kalo lo pelototin terus begitu."

Mendengar itu Zoya segera meletakan lilin tersebut ke dalam kotak kaleng yang memang berisi persediaan lilin bila mati lampu.

"Masih belum terima aja gue udah kepala dua." Kata Zoya. Kemudian ia berbaring di  kasur dan memainkan ponselnya.

"Ngomong kayak gitu di depan mbak Irene, deh. Pasti langsung dapet ceramah 2 SKS." Kata seorang perempuan dengan handuk yang meliliti kepalanya. Dia memotong kue yang ada di atas meja belajar Zoya dan memakannya.

"Erin, kamu masih DW di tempat kak Irene?" Tanya Zoya tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel.

"Masih. Kan belom ada sebulan, Kak." Jawab Erin sambil mengunyah kue. "Kak Joya belom dapet DW lagi, ya?"

Zoya menghela nafasnya, dia mengubah posisinya menjadi telungkup dan memandang Erin.

"Resto tempatku part time sekarang sepi. Hotel tempatku DW juga sepi, gak ada event. Aku jadi gak dipanggil-panggil."

Erin mengangguk-angukkan kepalanya. "Sabar ya, Kak Joya. Tapi bukannya bagus, kak Joya kan lagi sibuk di BEM?"

Zoya tidak menjawab. Dia hanya menghela nafas pelan.

Erin memandang Zoya. Kakak kelasnya itu terlihat sedang sedih sekaligus frustasi. Erin ingin menghibur, namun dia bukan tipe orang yang bisa menghibur. Lagipula dia baru satu bulan ikut kos di sini, dia merasa belum terlalu dekat untuk menghibur kakak kelasnya itu.

"Erin ngeringin rambut dulu deh ya, makasih kuenya, Kak." Pamit Erin.

Lagi-lagi Zoya tidak menyahut. Dia terlarut dalam pikirannya.

Banyak yang sedang Zoya pikirkan.

Sebenarnya, keluarganya sedang mengalami kesulitan ekonomi. Ayahnya adalah seorang karyawan swasta di salah satu perusahaan di Jakarta, sedangkan ibunya membuka warung makan kecil di ruko dekat rumah. Entah bagaimana ceritanya, ayahnya tertipu seseorang, ibunya shock dan jatuh sakit sehingga tidak bisa membuka warung makannya. Parahnya, mereka baru memberitahu Zoya saat dua hari menuju penutupan masa pembayaran semester.

Iya, semester sudah berganti. Kini Zoya sudah memasuki semester 5. Minggu depan pun sudah mulai masa perkuliahan normal. Namun sampai saat ini Zoya masih belum membayar uang kuliah. Memang masih ada perpanjangan masa pembayaran, namun sepertinya Zoya pesimis orang tuanya bisa membayar. Sekalipun bisa, Zoya akan merasa sangat membebani orang tuanya. Meskipun itu memang sudah kewajiban orang tua.

Zoya bahkan berpikiran untuk mengajukan cuti. Dan sepertinya orang tuanya mengetahui pikiran Zoya itu, maka dari itu kedua orang tuanya kini sedang berada di kampung supaya Zoya tidak bisa pulang dan menghampiri mereka.

Ponselnya berdering.

Zoya membaca nama ketua BEM-nya di sana.

"Halo... Kenapa, Daniel?"

"Halo, Zoya. Gue dapet info tentang beasiswa yang kemarin gue kasih tau. Dia bisa nerima satu lagi. Lo masih ada berkasnya kan?"

Zoya mengernyitkan alisnya bingung, pasalnya baru dua hari yang lalu ia dihubungi kalau beasiswa itu sudah memenuhi kuota.

"Lho? Bukannya udah penuh kuotannya? Kok tiba-tiba buka lagi?"

"Kurang tau. Mungkin karena ada yang mundur."

"Aneh banget." Celetuk Zoya.

"Heh! Bukannya bersyukur. Udah pokoknya besok gue temenin ngasih berkas persyaratannya ke kantor yayasan kemarin, ya. Jangan sampe ada yang ketinggalan."

Tentang yang SamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang