Empat.

64 18 0
                                    

Seusai kelas terakhir, siang ini Zoya mampir ke ruang sekretariat BEM prodi Manajemen Bisnis untuk memperbaiki anggaran acara yang ada di proposal. Ada perubahan dari divisi perlengkapan. Kali ini Zoya datang sendiri, tidak bersama kedua anak-anaknya. Perwakilan dari prodi Manajemen Bisnis pun hanya dua, Dita selaku sekretaris program kerja gabungan ini dan...

Gavin. Selaku ketua pelaksana.

Prok!

"Okay, anggarannya udah fixed. Kalo sesuai prosedur uangnya cair minggu depan di WR 3." Dita berucap sambil menepuk tangannya.

Zoya tersenyum senang. Ini merupakan pengalaman pertamanya terjun langsung untuk pembuatan proposal bahkan pengajuan anggaran. Divisi yang Zoya pegang sangat jarang menyelenggarakan acara, ditambah BEM prodi itu masih organisasi lingkup terkecil di kampus. Jadi acara semacam ini hanya diselenggarakan oleh divisi Kominfo BEM tingkat universitas. Bahkan mungkin skala acara yang diselenggarakan oleh divisi gabungan yang sedang ditanganinya hanyalah setengah dari skala acara BEM tingkat universitas.

"Zoya, sebenernya hari ini gue sama kak Gavin ada tugas ngambil pesenan kabel sama alat lainnya di MangDu. Tapi gue ada kelas pengganti habis ini. Lo bisa gantiin gue?" Tanya Dita pada Zoya. Cewek itu menutup Macbook-nya yang sedari tadi mereka gunakan untuk menyunting proposal.

"Gue ambil sendiri?" Zoya bertanya balik.

Dita menggeleng, "Sama kak Gavin. Lo gantiin gue buat nemenin doang, naik mobil kak Gavin. Kak Gavin udah tau kok tempatnya." Jelas Dita. 

Gavin beranjak dari duduknya dan berjalan menuju pintu sekret. Zoya meliriknya, dan kembali menatap Dita. "Dia sendiri gak bisa emang? Atau gue pergi sendiri aja, deh. WA aja tempatnya. Gue sekalian survey toko untuk konsum nanti."

Gavin terkekeh mendengar penolakan yang sangat jelas kentara dari kalimat Zoya barusan.

"Gak bisa, Zoya. Berdua. Semacem witness gitu." Jelas Dita lagi.

"Kalo gak suka sama gue jangan terlalu dipamerin." Ujar Gavin yang masih bersandar di depan pintu.

"Apa yang harus dipamerin dari situ." Gumam Zoya kesal.

Mau menunjukkan kekesalan seperti apapun, orang-orang pasti bakalan berpikir Zoya hanya sensitif saja. Masalahnya Gavin sudah terkenal dengan jiwa 'pangeran'-nya. Wajah tampan, pintar, dari keluarga kaya raya, suka traktir orang-orang, pokoknya reputasinya di kampus sangat-sangat baik. Tapi entah mengapa Zoya selalu merasa ada yang aneh dengan sosok Gavin. Seperti ada sesuatu yang cowok itu tidak tunjukkan ke orang lain, namun secara tersirat ditunjukkan pada Zoya. Atau... mungkin memang Zoya saja yang terlalu sensitif?

"Gimana, Ya? Kelas pengganti gue mulai lima menit lagi, nih." Ucap Dita dengan nada yang mendesak, membuat Zoya semakin merasa terpojok. Kata tanya 'bagaimana' sepertinya hanya sekadar kata saja. Karena kalau sudah begini Zoya tahu dia harus menjawab;

"Iya, iya. Gue yang pergi." Jawaban Zoya membuat Dita tersenyum senang. Perempuan manis itu berdiri sambil memeluk Macbook-nya.

"Dari tadi dong begitu." Ia menatap Gavin dan Zoya bergantian. "Kalo gitu gue ke kelas sekarang. Thankyou, Zoya. Hati-hati, Pak Ketu. Bye!"

Dan Dita pun keluar ruangan sekret. Gavin menatap Zoya yang juga sedang menatapnya. Ekspresi mereka berbeda. Jika Zoya menatap Gavin dengan ekspresi kesal, Gavin justru menatap Zoya dengan ekspresi puas. Yang Zoya artikan sebagai ekspresi meledek.

"Cepetan, gue mau kunci sekret." Ucap Gavin sambil menggerakkan kepalanya ke arah luar. Kode supaya Zoya keluar dari dalam ruangan.

Zoya mendecak, namun tetap keluar dari ruangan itu.

Tentang yang SamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang