10 : "You Want?"

1.4K 176 3
                                    

.

.

Senyumku mengembang tatkala rombongan kami berfoto untuk terakhir kali di depan pintu masuk wisata Goa Pindul. Hari semakin siang dan kami memutuskan untuk pulang ke hotel.

"Ke hotel nanti mau ngapain, ya?" Adikku mulai berceloteh.

"Makan terus tidur," kataku.

"Ih, nggak asik banget. Jalan-jalan dong, Mbak." Aku tertawa senang mendengar kata-katanya yang ketus.

"Jadwal jalan-jalannya lusa. Kan hari terakhir bebas mau vocation ke mana aja. Bisa ke Malioboro, atau nggak ke Kraton Jogja." Aku dan Gina mengobrol santai dalam perjalanan pulang ke hotel.

"Loh, terus besok ke mana, Mbak?" Mulut Gina sudah penuh dengan makanan, tapi tetap saja terus bertanya. Bandel banget adikku ini.

"Nggak tahu, tanya Ibu aja." Kuambil sedikit camilan renyah milik Gina. Lapar juga kalo habis basah-basahan.

"Bu, besok mau jalan-jalan ke mana?" ucap Gina dengan nada suara ditinggikan sedikit.

Disebrang bangku, ibu menoleh. "Pantai Kukup. Aja rosa-rosa suaramu Dek, mbok ganggu." (Jangan keras-keras suaramu Dek, takut ganggu).

"Eh, nggih, Bu. Maaf." Wajah Gina tertunduk. Sejak kecil aku dan adikku ini sudah biasa dengan sikap ibu bapak yang tegas.

Kuelus kepala Gina dengan sayang. Gadis ini begitu manis dan pintar. Mungkin karena dia anak paling bungsu, bapak begitu memanjakannya. Jadi, terkadang ada masa dimana Gina begitu manja pada kami semua.

"Nih, makan snack lagi. Nanti sampe hotel kita main-main aja sama Amel," usulku.

"Hihihi, boleh juga tuh."

^_^

Sebentar lagi ba'da Asar. Aku dan Gina masih rebahan dalam kamar, seakan berat untuk meninggalkan kasur. Kalau sudah berada di kasur itu susah sekali beranjak. Apa mungkin kasur memiliki gaya gravitasi yang lebih kuat, ya? Oke, aku ngelantur.

"Katanya mau main, ini malah tiduran doang." Ibu masuk ke kamarku dengan geleng-geleng kepala.

"Masih capek, Bu. Nanti aja kalo udah mandi."

"Amel juga belum keluar, tadi kamarnya masih sepi. Kalo nggak sama Amel mbok ya main sama yang lain, Dan," keluh ibu seraya duduk di pinggir kasurku.

"Dana juga capek, lagian di sini nggak pada kenal akrab." Fokusku tak teralih pada televisi yang menampilkan tayangan berita mancanegara.

"Nurul sama Lia itu, 'kan masih seumuranmu."

"Mungkin agak canggung kalo main bareng. Kayaknya Mbak Nurul sama Mbak Lia juga asyik sendiri."

Mbak Nurul dan Mbak Lia kalau aku perhatikan pasti hanya sibuk bercengkrama berdua saja. Sepertinya mereka ini menyukai hal yang sama, jadi terlihat begitu akrab.

"Kamu tuh ya, masa main sama adikmu terus. Sekali-kali coba kenalan dulu, nanti pasti akrab." Ibu selalu mengatakan hal yang sama, huh.

Aku memutar bola mata malas. "Aku kenal Hamam kok. Dia temenku juga."

"Hah? Itu Masnya Amel? Kok bisa jadi temenmu? Jangan genit ah, Dan." Ibu melirik dengan pandangan tak percaya seraya menepuk pelan tangan cantikku.

"Udah lama kenal, aku sama dia itu sekelas. Lagian siapa juga yang genit."

"Oalah, pantes Ibu liatin kok kayaknya kamu sama Hamam akrab banget."

"Nggak akrab banget, cuma sekedar kenal, Bu."

FLOW (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang