Hidden Chapter

3.3K 228 17
                                    

.

.

Dari Sisi Hamam

Sadana Prameswari. Gadis itu mulanya hanya teman sekelasku. Aku tahu dia. Sadana itu cantik, manis, dan juga baik. Untukku sebagai seorang lelaki, dia itu idaman. Masa SMAku awalnya biasa saja. Tidak ada yang istimewa, selain Aldo yang juga partner gameku.

Aku kenal dengan Sadana waktu awal kelas 12. Dia begitu mencolok dibanding anak perempuan yang lain. Kalo kata teman-teman laki-lakiku, dia itu sipit. Tentu saja karena matanya yang terlalu kecil. Dana bilang dia itu keturunan Tionghoa.

Waktu itu aku belum suka sama dia. Mungkin hanya sebatas rasa penasaran. Entahlah aku juga nggak bisa mendeskripsikan. Di kelas, dia juga nggak neko-neko. Pernah waktu itu aku sekelompok dengannya saat pelajaran Bahasa Indonesia. Dana masih sangat canggung denganku. Dia nggak bicara banyak.

Tapi yang buat aku lebih penasaran karena Dana itu care banget. Aku inget dia bela-belain nggak ke aula cuma buat nungguin Farah yang lagi sakit. Sebenernya pas aku tanya kenapa dia nggak ke aula, aku lagi nahan gugup. Wajarlah, gara-gara cuma ada kami berdua di kelas. Ralat, bertiga sama Farah.

Oke, langsung aja. Aku bakal cerita pertama kali aku suka sama dia itu kapan dan bagaimana. Jadi, aku ngerasa suka sama dia itu waktu kami pergi ke Jogja. To be honest, awalnya aku ogah ikut trip nggak jelas itu. Tapi gara-gara adikku si Amelya, terpaksa aku ikut.

Amel emang mudah sakit. Makanya ayah pesan supaya aku jaga dia waktu di Jogja. Dan pas aku tahu Dana itu anak Pak Jaya, nggak tahu kenapa rasanya aku lebih excited buat ke Jogja. Ya, aku coba buat lebih deket sama Dana. Sampai aku lupa tujuanku ke Jogja buat jagain Amel.

Di sana, dia kelihatan risi waktu awal aku deketin. Itu juga karena aku pengen deketin dia. Alasanku simple, nggak ada temen main di Jogja. Dan dia percaya aja alasan konyolku itu. Sengaja aku pilih kamar sebelah Dana supaya lebih leluasa buat ketemu.

Well, modusku emang nggak terendus sama sekali. Good job, Mam. Inget waktu kami pergi ke Gunung Merapi? Aku emang nempel terus sama, tuh cewek. Ya, gimana nggak nempel? Orang dianya buat aku penasaran mulu.

Puncaknya, waktu Dana kena batu di Bunker Kaliadem. Aku bener-bener ketakutan. Maklum saja, dia itu pendek, tubuhnya kecil jadi nggak tega kalo Dana sampai luka. Sejak itu, mataku terus ngeliatin dia mulu. Aku bahkan sampai searching cara ngobatin luka dikepala. Sungguh terniat!

Aku coba buat nggak peduli sama cewek itu. Tapi pikiranku nggak bisa bohong. Kalo ada yang nyebut namanya, aku langsung siaga satu. Aku pantau semua kelakuannya dari jauh. Pokoknya apa aja yang menyangkut Dana aku langsung semangat 45.

Saat aku duduk berdua sama dia di bus, oh itu rasanya seneng banget. Aku bebas liatin dia pas Dana bobo. Wajahnya imut banget, sumpah, deh. Aku nyesel nggak nge-foto dia waktu itu, kalo bisa mungkin udah aku pajang, tuh foto. Sial, aku udah tergila-gila sama cewek itu.

Syukurlah aku ini cerdik. Hingga foto Dana udah terpajang rapi di galeri ponselku. Aku fotoin dia waktu di Pantai Kukup. Gila, dia cantik banget. Sengaja nggak aku kirim ke nomornya, foto itu khusus punyaku. Ibu sama Ayah juga nggak boleh liat. Biar aku tunjukan saat kami udah resmi. Ah, kapan waktu itu tiba?

Tapi gengsiku lebih tinggi dari apapun. Pas pulang dari Jogja, aku belum berani ngomong perasaanku. Kami cuma lebih deket karena sering berbalas pesan. Senang rasanya kalo dia juga membalas semua pesan absurdku. Entah dia bosan atau tidak, yang pasti aku nggak akan berhenti.

Berkali-kali aku chat dia cuma mau bilang hal-hal yang nggak penting. Habisnya dia nggak mau WA aku duluan. Sudah menunggu lama, tapi dia nggak mulai juga. Kan menyebalkan. Akhirnya semenjak itu kami jadi lebih dekat. Hari-hariku kayaknya nggak lengkap kalo belum ngobrol sama Dana.

Dia juga pernah berkunjung ke rumahku gara-gara aku paksa ikut acara silaturahmi temen-temen Ayah. Dia bilang bakal dateng, aku langsung siap-siap di rumah. Mandi pagi, pake baju baru, sampai aku nungguin dia di depan rumah. Wah, baru sadar kalau waktu itu aku terlalu bersemangat.

Hariku lebih berwarna semenjak Dana muncul. Nggak tahu kenapa, tapi aku lebih sering tersenyum sendiri mengingat kebersamaan kami. Ketawanya, wajah cemberutnya, dan jangan lupakan ucapan ketusnya itu selalu kuingat.

Momen yang manis tapi nggak bertahan lama. Aku hancur saat Amel adikku kecelakaan. Rasanya kayak semangat hidupku meredup. Berhari-hari Amel nggak sadarkan diri. Dan berhari-hari itu juga aku nggak komunikasi sama gadis kesukaanku itu, Dana.

Pindah ke Jogja mungkin memang keputusan yang terbaik. Seolah tahu aku dan Dana akan sulit ketemu, malam itu aku beranikan diri buat telepon dia. Kami berbincang sebentar tapi hal itu sangat aku ingat. Dia nggak tahu maksud kata-kataku. Padahal aku pengin ngucapin kata-kata perpisahan.

Siang itu akhirnya kami ketemu lagi. Sudah 2 tahun tapi sama sekali nggak ada yang berubah sama dia. Wajah yang imut, mata yang kecil, dan postur tubuhnya yang tetep pendek. Aku pegang tangannya, dan saat itu juga aku pengen peluk dia. Erat.

Mulai aku deketin dia lagi, sama kayak waktu SMA dulu. Tapi aku nggak main-main sama Dana. Setelah ketemu, nggak banyak waktu aku langsung mutusin buat serius sama dia. I know, awalnya dia nggak percaya aku. Tapi aku nggak gampang menyerah. Aku pasti bakal lakuin apapun sampai Dana jadi milikku.

Begitu ambisiusnya diriku ini hingga nekat membawa Dana ke hadapan ayah dan ibu. Nervous, sudah pasti. Namun akhirnya ayah tetep kasih restu. Beruntung ibu juga nggak keberatan.

Ah, Sadana Prameswari, kamu sukses buat aku jadi bucin. Ya Tuhan, aku nggak percaya ini. Tapi aku suka kamu apa adanya. Aku suka kamu dari dulu kita SMA. Sejak liburan kita ke Jogja, aku udah mutusin buat jatuh cinta sama kamu. I hope you know it.

Karena Dana juga aku rela lakuin ini. Ngantre cuma buat ketemu idolanya, Pandu Dewanata. Cih, apa yang dia suka dari penyanyi itu, sih? Ganteng? Memang iya, aku akui itu. Alhasil aku harus nahan cemburu waktu dia semangat banget ngomongin Mas Pandu sama Lova.

Demi apapun, cuma buat kado ulang tahun Dana aku ngelakuin ini. Pengalaman yang buruk sekaligus memalukan. Bahkan lagu-lagu dari Mas Pandu saja aku nggak ada yang hafal. Sayangnya, aku harus antre panjang untuk sebuah tanda tangan. Sial, cuma aku satu-satunya anak cowok di sini.

Menunggu satu jam, akhirnya giliranku mendapat album serta tanda tangan eksklusif dari Mas Pandu tiba. Orangnya ganteng, aku yakin Lova dan Dana akan menjerit jika berhadapan langsung dengannya.

"Hai, siapa nama kamu?" Suara beratnya pertama kali aku dengar.

Kupalingkan wajah ke kanan. "Hamam."

Mas Pandu tersenyum, apa aku salah bicara? "Keliatannya kamu bukan fans saya. So, ini album buat siapa?"

Aku kaget pas dia bilang gitu, emang wajahku kentara banget? "Sadana Prameswari," kataku.

Mas Pandu malah terkekeh. "Pacar kamu?"

Huh, memang Dana itu pacarku. "Hmm, iya," lirihku.

"Dia mau ulang tahun, jadi tolong kasih ucapan yang bagus buat dia," lanjutku penuh harap.

Mas Pandu cuma ngangguk, lalu dia nulis sesuatu dialbum itu.

"Selamat ulang tahun, Cantik.  From Hamam to Sadana.♡"

Aku ambil album yang baru dia tanda tangani. Kubaca lagi pesannya dan berdecak dalam hati. Duh, ngapain dia nulis kayak gini.

"Thanks, Mas," pamitku pada Mas Pandu sebelum berlalu pulang.

Saat di perjalanan pulang aku membayangkan reaksi pacarku itu melihat ini. Apa dia akan memberiku hadiah? Mungkin sama seperti yang kemarin? Oke, itu hanya khayalanku saja.

Waktu berlalu cepat sampai aku baru menyadari nama Sadana Prameswari nyatanya sudah ada dalam hatiku bahkan saat kami masih remaja. Perasaan yang selalu coba kutepis, namun gagal.

Dana, kalo kamu baca ini artinya kamu tahu seberapa besar perasaanku. Dan aku harap kamu juga memiliki rasa yang sama. So, let's start our story together. You and me.

Selesai

A/N : Cerita Mas Pandu dan Mbak Sandya sudah bisa dibaca pada cerita Tarik Suara punya Lin, ya.

FLOW (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang