01 : "Can I See?"

7.8K 399 18
                                    

.

.

"Dan, ini gimana cara nulis aksara jawanya? Ih, aku kok bingung, ya?"

Kualihkan pandangan yang semula hanya terpaku pada ponsel. Dia adalah Farah, teman sebangkuku. Hmm, kalau tidak salah kami menjadi teman dekat sekitar 3 bulan ini. Aku baru saja naik kelas 12, itu artinya sebentar lagi aku akan jadi mahasiswa.

Sedih memang, terlebih lagi disekolah ini aku punya banyak kenangan. Ya, walaupun sebenarnya aku tak terlalu dekat dengan teman-teman kelasku yang lain, hanya saja membayangkan masa kuliah yang begitu horor selalu membuatku ketakutan tidak jelas. Aku memang belum pintar dalam bersosialisasi. Setiap anak di kelas ini mengecap ku dengan julukan anak pintar tapi cuek abis. Dan aku tak terlalu memikirkan akan hal itu.

"Gampang kok, kamu tinggal tulis pasangan huruf K dibawah. Terus kasih tanda taling tarung diatasnya," jelasku berusaha sesabar mungkin.

"Lah, bilang dong dari tadi. Aku udah coret-coret di buku langsung nih. Males banget pake label, nggak bagus jadinya."

Ya, terus aku harus gimana? Kadang aku bingung sama orang yang sangat memperhatikan kerapihan tulisan. Sampai-sampai ada yang merobek 1 halaman penuh padahal masih muat banyak. Mubazir namanya. Kalau aku, tak pernah memperhatikan hal semacam itu, bagus ya Alhamdulillah, kalau tidak ya syukuri saja.

Mungkin benar kata orang, anak cerdas tulisannya tidak ada yang bagus. Eh, aku bukan menyombongkan diri, ya. Contohnya banyak kok, guru matematikaku saja tulisannya sampai hari ini tak bisa aku pahami.

"Iya, maaf. Nanti aku bilang kalo salah lagi."

Aku mengedarkan pandangan pada teman-teman yang lain. Mereka tampak berpencar ke segala penjuru kelas. Memang jam kosong adalah surga dunia anak sekolah. Kalau begini aku lebih baik tidur di perpustakaan sambil melihat pemandangan dari lantai dua gedung sekolah ini.

"Dana, kok keliatannya kamu nggak pernah ikut eskul, ya? Padahal, 'kan itu wajib tahu. Kamu kayak nggak mau bersosialisasi banget sih," ejek Febi dengan mulut komat-kamitnya.

Dia ketua kelasku, badan yang gempal membuatnya menjadi atlet tarik tambang resmi kelas kami. Saat ini memang aku ditugasi belajar kelompok pelajaran Basa Jawa dan yang paling menyebalkan adalah Febi ngotot ingin ikut kelompokku dan Farah. Akal-akalannya bisa ku tebak, dia malas berpikir. Itu memang kebiasaannya.

"Ikut, Feb. Cuma emang sanggar tarinya nggak latihan di sekolah. Harus ke aula dulu kalo mau eskul," jawabku dengan suara pelan dan berusaha tak terbawa emosi.

"Oh, kok aku nggak pernah liat kamu, ya? Jangan-jangan kamu nggak pernah ikut kumpul. Masalahnya kalo ada acara kamu nggak pernah tuh ikut tampil. Kamu, 'kan pemalu, kok malah ikut eskul gitu sih?" Kebiasaan Febi yang lain adalah mencurigai orang. Sekelas sudah tahu itu.

"Feb, coba kamu kerjain yang nomor 5 deh. Dari pada ngomong mulu," perintah Farah. Mungkin gadis berbalut kerudung instan ini juga geram akan tingkah Febi.

"Ih, dibelain sama sahabatnya lagi. Dana itu-" Suara Febi teredam oleh panggilan lelaki yang kini duduk disebelahnya.

"Aku ikut kelompok sini, ya?" Hamam namanya.

Dia adalah salah satu teman laki-lakiku. Cowok dengan tinggi kira-kira 175 cm ini hampir tak pernah berinteraksi dengan aku. Kalo tidak salah mungkin hanya 3 kali kami berbincang. Dan itu tidak pernah jauh dari pelajaran. Aku heran, dia itu memang kenal aku nggak, sih?

"Nggak deh, Mam. Aku udah sama kelompok ini. Nanti yang lain iri, soalnya kamu dikira lagi deketin aku lagi. Eh, atau beneran kamu mau deketin aku, ya?" Kumat lagi si Febi ini.

FLOW (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang