13 : "Yes, You Are Different"

1.3K 181 4
                                    

.

.

Tanganku terulur mengambil piring yang berada tepat di depan Hamam. Piring tersebut berisi beberapa potongan timun pelengkap pecel yang sedang kami konsumsi. Kalau berlibur seperti ini rasanya tidak mungkin para ibu-ibu tidak membawa bekal apapun.

Ibuku contohnya, nggak tahu sejak kapan ibu sudah membuat berbagai varian puding untuk ia bawa ke pantai. Sebenarnya mereka semua sudah membagi jatah pembawa makanan. Ibu Hamam ditugaskan membuat bumbu pecel, ibu Ellen ditugaskan membuat es buah. Dan masih banyak yang lain.

"Maa syaa Allah, nikmat banget makan di pinggir pantai begini ya, Bu, Pak?"

"Genah asline wis dadi wong desa, plesir ming kota ya, tetep nggawa mendoan karo pecel." (Aslinya sudah jadi orang desa, kalo liburan ke kota tetep aja bawanya mendoan sama pecel).

"Haha, bener niku, Pak."

"Yuh, disambi niki Bu. Wonten jangan kangkunge." (Ayo, dimakan ini, Bu. Ada sayur kangkung juga).

Obrolan para orang tua ini membuatku bosan. Gimana enggak? Sedari tadi mereka hanya sibuk melontarkan candaan sembari memaksaku untuk makan terus menerus. Nggak tahukah mereka perutku ini sudah kenyang, ish!

"Heh, dasar! Ini aku udah pake senjatanya. Main curang kamu, ya."

Belum usai dengan keributan para orang tua, tepat disampingku kini terpampang lelaki berkulit sawo matang yang kerjaannya hanya bergumam sendiri. Aku nggak bodoh mendengar semua umpatannya, jelas itu berarti dia tengah bermain game.

"Na, ambilin sop buahnya lagi," perintah Hamam sembari menyerahkan gelas plastiknya yang sudah kosong padaku.

"Punya tangan itu digunain, Mam," saranku. Namun laki-laki ini tidak menggubrisnya sama sekali.

Karena rasa kemanusiaan, akhirnya aku mengalah dan mengisi gelas plastiknya kembali. Pantas dia ingin minum terus, cuaca siang ini begitu terik. Terlebih kami sedang berada di pantai.

Sejak kejadian Amel sakit, dia sama sekali nggak pernah lepas dari ibunya. Kata Bu Lisna, Amel ini akan sangat manja bila sedang sakit. Apa semua anak akan bersikap seperti itu? Soalnya Gina pun melakukan hal yang sama.

Duduk beralaskan tikar dengan pemandangan tebing serta laut yang memanjakan mata membuat makan siang kali ini terasa berbeda.

"Mbak, makan apa lagi, nih. Masa cuma makan pecel doang."

Aku menggeleng malas. "Mau makan Pop Mie aja, Bu." Kembali aku meringis meminta pada ibu.

"Mie mulu, nanti sakit perut, lho. Lagian ini udah ada makanan banyak banget, Mbak," ujar bapak.

Tapi aku tetap mau mie, Pak. Pengen aku bilang gitu sekarang. But, mungkin akan tidak sopan mengatakan ini di depan umum. Bye-bye Pop Mie.

"Nggih, Pak. Nanti Dana makan lagi."

Aku kembali fokus menikmati hamparan pasir putih yang begitu halus. Foto di pinggir tebing pasti akan terlihat estetik. Sayangnya, aku nggak terbiasa foto selfie ditempat ramai seperti ini.

"Bu, Hamam mau beli jajan dulu." Aku nggak ngerti maksud Hamam apa. Dia bilang ingin pergi membeli jajan. Tapi yang dia lakukan sekarang adalah menarik tanganku untuk ikut bangkit.

"Eh, kenapa?"

Hamam menunduk. "Temenin beli jajan."

Mendengar permintaannya, aku langsung tersenyum girang seraya mengangguk antusias. Tahu saja Hamam, kalo aku sangat ingin makan mie. Kesempatan, nih.

FLOW (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang