Flashbulbs

237 32 0
                                    

Central Park, 3 Hari Setelahnya

Jakarta terasa menyempit sejak Inge dipertemukan dengan laki-laki itu.

Entah bagaimana, ke manapun ia melangkah, seolah selalu saja ada celah untuk sekedar pertemuan nggak disengaja dengan laki-laki ini. Bahkan meski sudah jauh Inge ke Barat, tetap saja ketemunya sama dia dan dia lagi.

"Eh, Inge," kata laki-laki ini begitu tatapan mata mereka nggak bisa terhindarkan.

Padahal, kalau nggak kejadian begini, Inge sudah berniat buat melarikan diri saja. Nggak perlu lah adegan menyapa. Apalagi setelah pesannya diabaikan begitu saja 3 hari lalu. Makin saja Inge nggak mau melanjutkan komunikasi dengan laki-laki ini.

"Hei," sapa Inge singkat. Kecanggungan juga nggak terelakkan di antara mereka berdua.

Laki-laki ini seperti biasa mengenakan setelan kasual. Sebenarnya, Inge sendiri nggak pernah benar-benar tahu bagaimana setelan dinas dia. Karena setiap kali ketemu, lagi, selalu saja di momen nggak terduga di saat dia lagi nggak bekerja.

"Lagi ngapain kamu di sini?" tanya laki-laki ini.

Ada hal yang terasa sangat amat nggak biasa dari caranya menanyakan hal barusan. Selama ini, Inge tahu banget kalau laki-laki ini begitu supel, santai, dan kasual.

Bahkan kadang itulah yang bikin Inge ingat akan si keparat dulu. Dia yang tampak too smooth sejak perkenalan pertama. Cuma ada dua kemungkinan orang tipe ini. Satu, orangnya memang supel. Dua, sudah terlatih.

Tapi malam ini, ada sesuatu yang beda. Yang membuatnya kelihatan nggak tenang?

"Barusan baru diajak brunch meeting di sini. Kamu?" tanya Inge berusaha menyembunyikan herannya.

Laki-laki ini sejenak menoleh ke kanan dan kirinya seperti sedang menanti sesuatu. Atau lebih tepatnya seseorang. Tepat di depan outlet Tag Heuer.

"Hmm, ini ada urusan," jawabnya sambil tersenyum, agak dipaksakan, "Sendirian?"

"Kamu?"

Inge benar-benar nggak mampu menahan penasarannya lagi. Sedang apa laki-laki ini jauh ke Barat? Urusan macam apa yang membawa laki-laki ini terdampar di mall Barat seperti ini?

Seolah semesta ingin membantu Inge menemukan jawaban, nggak lama, seorang perempuan yang sepertinya seumuran dengan Inge keluar.

"Udah, jadinya aku beli ini aja buat Papa—"

Kalimat perempuan ini tertahan. Ia lalu menoleh ke arah Inge dan menatap laki-laki ini seolah minta penjelasan.

"Oh, hmm, kenalin, ini Inge. Inge, ini Rara," jelas laki-laki itu super canggung.

Rara. Saja. Tanpa ada predikat apapun.

Sial. Kenapa juga detik ini kenangan itu seolah begitu saja menyergap otaknya?

Rasanya sama persis. Berdiri memergoki seseorang berjalan dengan laki-laki yang selama ini jalan dengannya. Bedanya, detik ini, Inge jelas bukan siapa-siapanya.

Beda dengan si keparat itu yang sudah mengakui Inge kemana-mana sebagai kekasihnya. Lalu tiba-tiba saja saat Inge pergoki ia jalan dengan perempuan lain, seketika predikat itu hilang begitu saja dari nama Inge ketika diperkenalkan.

Rupanya memang benar.

Nggak ada laki-laki yang murni baik di sekeliling Inge. Entahlah.

"Oke deh, saya duluan, ya. Mari," pamit Inge selepas memperkenalkan diri pada perempuan itu.

Perempuan yang nggak cuman membuat Inge ingat akan kenangan pahit waktu itu, melainkan juga membuat ia meragukan kepercayaan dirinya.

The greatest woman's beauty is happiness.

Sebenarnya, perempuan yang bersanding sama laki-laki barusan nggak cantik-cantik amat kalau dibandingkan Inge. Tapi, dia kelihatan bahagia. Senang. Dan dari sanalah cantiknya seperti terpancar sekali.

Mungkin memang perempuan kayak gitu yang disukai semua laki-laki di dunia ini.

Cuman di drama-drama saja kita bisa menemukan seorang laki-laki mau menerima kekurangan perempuan yang hadir dengan situasi mentalnya yang nggak stabil. Yang seolah terpusat pada kenangan-kenangan masa lalunya saja. Yang nggak bisa berhenti untuk melihat dunia dari sisi gelapnya. Apalagi sampai pernah tepergok ingin mengakhiri segalanya.

Memang cuman di film dan drama saja.

Wajar rasanya kalau laki-laki itu mengabaikan pesan Inge 3 hari ini. Siapa pula yang mau bertahan dengan segala drama kesedihan yang Inge sendiri sebenarnya nggak ingin rasakan di kepalanya ini?

Ayo Inge, bangun. Jangan kebanyakan bermimpi.

 Jangan kebanyakan bermimpi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

**

Jakarta, Katanya (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang