Menara Sentraya, Melawai,
Ruang meeting berubah sunyi sesaat setelah Isko Dharmawijaya, pimpinan perusahaan ini menggebrak meja. Melemahkan nyali banyak orang di ruangan ini.
Mata mereka semua kini tertuju hanya pada satu sudut. Tempat Inge duduk di depan laptopnya dan Isko berdiri di dekatnya.
"Saya memang minta kamu untuk pace-up ya, tapi kamu juga harus pakai otak kamu. Kalau bikin timeline itu yang logis. Kamu pikir saya ini bodoh dan bisa dibodoh-bodohi? Dari semua yang kamu paparkan barusan, none of it was make sense. This, this," Isko menunjuk tembakan layar Inge di papan putih ruangan ini.
"Seriously? Haven't you told your team? Mereka sanggup? Kamu itu sudah kerja sama saya dua tahun, harusnya kamu tidak perlu saya ajarkan lagi," gertak Isko sambil melipat tangan di dada dan menatapi Inge.
Wajah-wajah cemas mulai kentara. Tapi tidak ada satupun yang angkat bicara.
Sejenak Inge menundukkan kepalanya. Ia bisa merasakan degup jantungnya pelan-pelan berubah menjadi tidak keruan.
Dari sekian banyak hal yang bisa dan biasa ia katakan sebagai pembelaan diri, kini ia hanya bisa mendongak dan berbisik:
"Saya izin ke toilet sebentar," ucapnya.
Dan tanpa menunggu persetujuan Isko, ia sudah bangkit, bergegas menuju toilet, sebelum semua menjadi lebih kacau beberapa detik lagi.
Ia memburu langkahnya ke toilet, segera masuk, mengunci pintu, dan duduk di kloset. Dengan napas memburu yang semakin memburuk, Inge menatap sekelilingnya samar.
Grounding.
Ia mencari 5 benda untuk ditatap, 4 benda untuk didengar, 3 benda untuk dihirup, 2 benda untuk diraba, dan 1 lagu untuk dinyanyikan dalam pikirannya. Sambil terus berusaha mengatur napasnya dan mencari benda-benda itu.
Benang-benang yang sudah terurai perlahan berubah jadi kemelut lagi. Kalimat demi kalimat yang Isko bunyikan di ruangan meeting terputar kembali di kepalanya.
Lagi dan lagi.
Separuh dari dirinya berusaha mencerna itu sebagai teguran Isko pada seluruh tim Inge, tapi separuh lagi menyalahkan dirinya untuk cuma bisa duduk diam menerima cacian yang bukan atas kesalahannya semata.
"Nge, are you there?"
Inge yang tengah terengah dengan napasnya sendiri, sontak mengerutkan dahi menyadari suara Glenn dari balik pintu toilet ini.
"Are you okay?" teriaknya lagi.
"Lu—ngapain di toilet—cewek?" balas Inge terseret-seret.
Hening.
"Just checking. Cuman mau bilang jangan lama-lama di sini. Angker. Balik ke ruangan, ya," balasnya begitu mendapati Inge sudah membalas pertanyaannya, kemudian bergegas keluar setelah sempat terdengar dirinya kena damprat anak divisi lain yang akan masuk ke toilet ini.
Sekitar lima menit berlalu, Inge memang belum sepenuhnya pulih, namun ia merasa sudah jauh lebih baik untuk kembali meeting.
Menyeka mata dan rambutnya, membenahi blouse yang dikenakannya, Inge keluar dari toilet ini.
Untuk apa ia diselamatkan malam itu kalau ujung-ujungnya hanya siklus berulang seperti ini yang terjadi, pikir Inge sepanjang koridor.
*
Rasanya sudah lama sekali Inge tidak punya waktu untuk melihat langit Jakarta berubah jingga.
Di sini, hanya duduk sambil mencari semilir angin sore yang tidak pernah benar-benar bebas dari polutan di kota Jakarta. Sambil mencoba mencerna jejak-jejak letih yang tertinggal di pikirannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jakarta, Katanya (Completed)
RomanceJakarta lebih dari sekadar kota, terutama bagi Inge Shafadila. Di sinilah sukanya bertumbuh jadi luka. Cintanya berubah jadi lara. Sampai satu malam, ia merasa tak sanggup lagi melanjutkan hidupnya. Ia pikir, mengakhiri adalah jalan terbaik. Namun...