Epilog: Mahesa Enggar Dewangga

533 53 3
                                    

Lotte Mart, Kemang Village,
Delapan Bulan Sebelum Malam Ini,


Enggar masih menimbang-nimbang saat membaca pesan yang masuk dari temannya barusan. Sejujurnya, ia lelah sekali dan ingin pulang saja malam ini. Apalagi selesai meeting dengan konsulennya.

Ya memang sih, meetingnya di kafe, tapi tidak mengubah kadar keseriusan diskusinya sama sekali. Tapi, Enggar juga sadar, seminggu ini ia belum berolahraga sama sekali.

Akhirnya ia memutuskan berjalan ke sini untuk membeli sebotol minuman dan mungkin salad buah sebelum menuju Senopati.

Heran juga malam ini Kemang Village lebih ramai dari biasanya. Sepertinya memang sedang ada acara.

Tidak butuh waktu lama, Enggar langsung bertanya posisi minumannya.

Ia mengambil satu botol besar dan sedang berjalan menuju area buah ketika matanya menangkap sosok yang dikenalinya.

Berjalan dari rak minuman yang tidak jauh darinya. Perempuan itu mengenakan jeans, flat shoes, blazer-sepertinya dia mengenalnya. Enggar berbelok menghampiri perempuan itu.

"Inge," gumamnya.

Wajah lelah dan sendu menyambut kehadirannya. Matanya kini tertambat pada tumpukan obat di tangannya.

Something seems wrong.

"What the he-what are you doing?" katanya menatapi sosok di depannya.

Apa yang dilihatnya detik ini sontak langsung menariknya pada kejadian sebulan lalu. Tepat ketika ia berusaha menyelamatkan seorang pasien dari keracunan obat yang sama.

"Do you have a time for a talk?" pungkasnya cepat.

Sepanjang jalan ke basement, Enggar terus berpikir. Apa perempuan ini memang tidak tahu kalau ia bisa terbunuh jika mengonsumsi benda itu? Lalu, kenapa banyak sekali obatnya? Mungkinkan untuk stok? Mustahil. Terlebih wajahnya sendu sekali, lingkar matanya terlalu kentara.

Di antara semua kebingungannya, hal pertama yang Enggar lakukan adalah membatalkan kelas olahraganya dan mengirim pesan pada rekan psikiatrinya.

Mencari saran yang tepat kalau-kalau Inge memang mau menyudahi hidupnya.

Don't let her alone. Temani dia.

Mampus. Temani dia? Akrab saja tidak. Minta temani makan saja. Ya Tuhan, dia baru saja menghabiskan satu piring penuh pasta. Mana bisa?

"So-Lawless atau Bakmi Dharmawangsa?" katanya nekat.

"Nggak lapar," jawab Inge dingin.

Makan tuh, muka. Enggar menelan ludah. Bodo amat.

"Ya udah, bakmi ya," katanya memutuskan sepihak, meski kemudian berujung debat setelahnya.

Oke, setelah bersusah payah memasukkan semangkuk bakmi ke lambung, rupanya acara makan selesai lebih cepat.

Masih jam sepuluh.

Kalau dia dibiarkan pulang, masih ada waktunya baginya berpikir yang tidak-tidak. Wajahnya juga belum kelihatan lelah. Enggar terus memutar otak dan berpikir.

"God, notes saya ketinggalan di apartemen teman saya. Saya janji, habis ambil di sana, saya antar kamu balik."

Bermoduskan tidak bisa melihat jarak jauh, Inge setuju dibawa berkeliling hingga ke Kasablanka. Ah, untung saja banyak jalan ditutup karena proyek.

Tidak bisakah sekalian ia berputar ke Kelapa Gading dulu?

Ia mengetuk pintu apartemen di lantai sepuluh, wajah Kafin, rekannya heran menatapnya.

"Ada apa, Bre, malam-malam? Bukannya lu bilang capek makanya gak jadi cross-fit?"

"Pinjam notes, sama kacamata dong, Bre. Ada?" tanyanya alih-alih.

Kafin menatapnya heran.

"Ada, sih. Tapi buat apa? Aneh deh, lu," tandasnya sambil mempersilakan Enggar masuk ke apartemennya yang lampunya sudah dipadamkan. Jam istirahat adalah barang mahal bagi mereka.

"Nanti deh, gue ceritakan. Pinjam dulu ya, Bre," ucapnya cepat kemudian bergegas keluar dari apartemen ini.

Ia menghampiri Inge yang sudah menunggu di bawah dan baru saja selesai menguap.

Dia sudah ngantuk. Bagus.

"Nyawa saya ada di sini. Thank you for being my glasses. Sekarang kita balik, ya," ujarnya memberikan polesan terakhir kebohongannya.

Sambil berpura-pura mengenakan kacamata gaya milik rekannya itu. Untung bukan minus atau silindris.

Ada banyak hal yang sebenarnya berdesakan di kepala Enggar, minta dipertanyakan.

Sesekali ia melirik ke arah Inge yang tampak mencoba menahan kantuknya. Namun perempuan itu menolak saat ditawari bantal untuk memejamkan mata sejenak.

Sepanjang perjalanan, Enggar mencoba hikmat dalam senyap tanpa percakapan dengan perempuan di sebelahnya. Hingga akhirnya mereka tiba di tempat perempuan ini.

"Saya turun di sini aja, Gar. Portalnya ditutup. Saya jalan aja ke dalam," perempuan itu membuka sabuk yang mengelilinginya.

"Eh jangan, kita cari jalan putar aja, ya. Sudah malam banget," tolak Enggar cepat, tanpa sadar tangannya memegangi tangan Inge yang mencoba membuka sabuk.

"Santai aja, Gar. Beberapa kali saya biasa jalan sendiri di jam segini. Nggak masalah."

"Tapi saya nggak biasa membiarkan perempuan jalan sendiri, tengah malam, tanpa saya lihat sendiri dia masuk ke rumahnya," tegas Enggar, "Kita cari jalan putar."

Ada sorot mata terkejut yang tertangkap di wajah perempuan ini sesaat setelah Enggar mengatakan hal barusan.

Entah naluri sebagai dokter, atau karena ia tidak mau ini jadi kali terakhir ia melihat Inge, sepanjang hidupnya, belum pernah ia memiliki perasaan ingin menyelamatkan seseorang sekuat dan sebesar sekarang.

Terdengar egois memang, tapi detik ini, Enggar ingin jadi alasan Inge bertahan hidup.

**

Jakarta, Katanya (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang