Lotte Mart, Kemang Village,
Terlalu mudah bagi dirinya mengingat orang yang kini berdiri tegak di hadapannya. Dengan postur bahu yang bidang, mengenakan kemeja biru gelap dengan lengan digulung, memeluk satu botol besar minuman ion, dan laki-laki itu menatapnya."What the—what are you doing?" katanya, dan detik itu Inge sadar, mata laki-laki ini terpusat pada benda di kedua tangan Inge.
Hening seolah menyergap. Inge terbekuk di bawah tatapan laki-laki ini. Seperti tertangkap basah, Inge bergeming.
Sejenak kemudian, laki-laki itu meletakkan botol besar yang dipeluknya ke sembarang rak. "Do you have a time for a talk?" tanyanya.
Dan tanpa meminta persetujuan, ia menggapai lengan Inge yang terjatuh bebas di sisi tubuhnya, membawa perempuan ini ikut bersamanya, hingga Inge terpaksa melewatkan kasir dan meletakkan benda-benda yang dibawanya sembarangan.
Tidak ada kalimat yang keluar di antara mereka sepanjang jalan menuju basement.
Heran juga betapa lantang kesunyian di antara gempita musik di sekeliling mereka. Hingga atensi Inge seolah dihisap habis oleh kehadiran laki-laki ini. Dan anehnya, bukannya mengelak, Inge justru tidak melakukan apa-apa saat laki-laki ini menggandeng dan menuntun ia ikut bersamanya.
Mungkin, jauh di dalam dirinya—ia masih ingin diselamatkan.
Dengan sigap, lelaki ini membereskan jok depan yang tampak berantakan dengan tas dan tumpukan buku. Ada jas tergantung di sisi kiri jok belakang saat Inge melirik sebentar. Ia bahkan harus mendorong jok depan sedikit sebelum Inge duduk di sana.
Inge masih diam, bergeming, saat ia dan laki-laki itu duduk di dalam mobil, menunggu pendingin bekerja.
"Bre, kayaknya gue cancel deh, capek nih gue," ucap laki-laki ini pelan pada ponselnya, "Besok pagi mungkin, ya, sebelum sif, gue geser sesinya. Thank you," tutupnya kemudian menghela napas.
Sejenak kemudian lelaki ini tampak sibuk mengirim pesan pada rekannya, sebelum kemudian ia menoleh pada Inge, "So—Lawless atau Bakmi Dharmawangsa?" tanyanya.
"Nggak lapar," jawab Inge menatap kosong hadapannya.
Laki-laki ini menarik rem tangannya, menginjak pedal gasnya.
"Kalau begitu, bakmi aja," ucapnya desisif bersamaan dengan mobil yang bergulir keluar dari basement, berjejal bersama kendaraan lain yang mulai bubar.
Kemelut di kepala Inge masih belum terurai bahkan meski seseorang terang-terangan baru saja menyelamatkannya. Penyelamatan atau malah perpanjangan derita?
Inge mengerutkan dahinya.
Tangannya memilin rantai sling bag di pangkuannya. Perasaannya benar-benar tidak keruan sekarang. Dan mungkin, hal yang ingin dia lakukan sekarang hanyalah pulang. Berdiam di kamar. Tidur, entah sampai kapan. Mungkin tak ingin bangun.
"Can I just stop here? I think I better go home," Inge menoleh.
"Temani saya makan dulu, boleh? Baru nanti saya antar kamu balik," ucapnya sopan dan mobil ini terus melaju, bahkan meski Inge minta diturunkan detik ini.
*
Bakmi Jogja, Dharmawangsa,
Beberapa menit kemudian, mereka sudah tiba di pelataran parkir bakmi ini.Cukup ramai, tapi mungkin tidak seramai opsi tempat pertama. Usai menitipkan mobilnya pada valet, Inge turun bersama laki-laki ini dan langsung mengambil posisi duduk, agak di sudut dalam.
"Bakmi rebus, komplit, tambahan ayam. Dan?"
Inge menggeleng. Dia sama sekali tidak lapar bahkan meski lambungnya cuma diisi kopi malam ini.
"Wedang ronde sama wedang uwuh. Terima kasih," tutup pria ini dengan senyuman sambil meletakkan menu.
Ada jeda yang cukup lama sebelum kemudian laki-laki ini buka mulut.
"How long it's been, ya? Terakhir kita ketemu kapan, ya?"
Percayalah, sebesar apapun usahanya mengajak Inge bicara, detik ini ia hanya mau pulang dan tidur saja. Inge pun cuma membalas dengan mengangkat bahu.
Usai menggeser wedang yang baru diantarkan, laki-laki ini melipat tangan rapi di atas meja.
"Saya sebenarnya pernah lihat kamu. Di rumah sakit. Tapi, kurang yakin kalau itu memang kamu."
Inge tidak memberikan penjelasan apa-apa.
"So, what did happen?" tanyanya menegaskan bahwa dia memang butuh dijawab.
"Cuma kelelahan," jawab Inge singkat sambil menyandarkan tubuh ke belakang.
Hening.
"Cobain deh, ini enak. Bikin anget juga," katanya mendorong semangkuk wedang ronde ke hadapan Inge sambil tersenyum.
Sejenak Inge meratapi mangkuk itu, lalu beralih menatap laki-laki ini. "You don't need to do this."
"Do what?" tandasnya cepat, sesaat kemudian ia menyesap wedang di cangkirnya, "Feeding you a food? Paksa kamu makan di saat sebetulnya saya yang cuman butuh ditemani makan?"
Inge menggeleng kemudian menghela napas panjang.
"Kamu nggak benar-benar lapar. You even have just cancelled your whatever schedule, and I know it. Kamu telepon teman kamu tepat di samping saya."
Bakmi pesanannya datang lebih awal. Sesaat ia sibuk meletakkan piring itu sambil meracik rawit dan kecap ke dalamnya.
"Boleh saya makan dulu, nggak sih? Then we can talk afterward," ucapnya meminta izin.
Inge tidak menjawab dan akhirnya menyendokkan ronde ke mulutnya di saat laki-laki ini juga sibuk dengan santapannya.
Hanya butuh lima menit bagi laki-laki ini menghabisi isi mangkoknya, kemudian menyesapi sisa wedang uwuh di cangkirnya.
"Kalau begini, kamu percaya kan saya selapar itu?" tandasnya sambil tersenyum. "God," desahnya tiba-tiba, "I left my notes. Baru ingat, catatan saya ketinggalan di apartemen teman saya. Twice. Sebelum saya antar kamu balik, boleh kita ke apartemen teman saya dulu, nggak? Di Puri Kasablanka."
Inge mengerutkan dahi, "This isn't right. Saya balik sendiri, deh. Kasablanka itu jauh. My place is nearer than there. Saya capek hari ini," Inge bersiap mengeluarkan dompetnya dan menyerahkan selembar uang pada laki-laki ini.
"Nge," ucap laki-laki ini sambil menahan tangannya, "I actually need to tell you something," bisiknya perlahan dan serius. "Saya—nggak bisa bawa mobil jauh, tanpa teman. I—left my glasses too, along with my notes."
Inge kembali mengerutkan dahinya. Ia mendesah kesal dan menyingkirkan tangan laki-laki ini darinya.
"Oke. But promise me, swear to me. Hanya ini dan setelahnya, saya mau balik," ucapnya berbalas anggukkan mantap laki-laki di depannya.
**
KAMU SEDANG MEMBACA
Jakarta, Katanya (Completed)
RomanceJakarta lebih dari sekadar kota, terutama bagi Inge Shafadila. Di sinilah sukanya bertumbuh jadi luka. Cintanya berubah jadi lara. Sampai satu malam, ia merasa tak sanggup lagi melanjutkan hidupnya. Ia pikir, mengakhiri adalah jalan terbaik. Namun...