Makna di Jantung Ibukota

432 44 1
                                    

Menteng, Malam Ini,


Jika perusahaan rintisan ojek ini tidak pernah berdiri, entahlah bagaimana caranya Inge bisa bertahan di Ibukota.

Di tengah kepadatan, berbalut polutan, penuh ketergesaan, juga hujan cacian di balik kemudi kendaraan, malam ini untuk kesekian kalinya Inge terselamatkan dari kemacetan. 

Meringkas perjalanan menjadi dua puluh menit, Inge tiba hanya beberapa saat sebelum tayangan radio naik. Glenn sedang berdiri memunggunginya tidak jauh dari pintu ruang meeting ketika ia tiba.

"Macet. Parah. Maaf telat. Saya nggak baca berita kalau ada acara di sekitar sini. I really wish election pass soon—" Inge menghentikan kalimatnya, matanya memicing, langkahnya mendekat ke meja di ruang meeting ini. "What are you—doing?"

"Pas banget, yuk, mulai. Sebentar lagi kita on air. Nge, lu mau ikut masuk atau gimana?" tawar Glenn sambil membuka pintu dan mempersilakan pembicara untuk ikut dengannya.

Mulut Inge masih terbuka, ia masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

"Kamu—ngapain?" tandasnya ketika pembicara melintas melewatinya.

"Nge, we're out of time. Mau ikut gabung, nggak?" Glenn kembali menawarkan.

Dengan seksama, Inge membaca informasi soal siaran hari ini sambil menatap Enggar yang kini berbicara di balik mic.

Inge memang tahu kalau Enggar sempat bekerja di tempat lain ketika ia lulus sarjana dulu, sebelum melanjutkan PPDS-nya. Tapi ia tidak tahu kalau ia sempat bekerja di bidang yang rupanya dekat dengan dunianya ini.

Sungguh, Inge masih tidak percaya.

Satu jam berlalu dan akhirnya tayangan radio selesai. Glenn, bersama Enggar dan satu orang lainnya keluar dari ruang siaran.

"Thank you, Mas. You really saved us," saat mengatakan itu Glenn melirik penuh makna pada Inge, "Gue ke dalam dulu ya," pamitnya meninggalkan Enggar di sana bersama Inge yang masih bingung.

"Kamu—"

"Kan udah aku bilang tadi pagi, Menteng macet. Kamu read doang. Nggak percaya, sih," tukasnya sambil tersenyum, "Mau langsung pulang atau—"

"Temani kamu makan," tebaknya sudah biasa, "Kok, aku nggak lihat mobil kamu di luar?"

"Aku naik motor. Macet. Ya Allah, berapa kali aku bilang. Sekali lagi kamu tanya, aku kasih kupon undian Ale-Ale, nih," candanya, "Ya udah, kita ke Ikkousha, ya? Nggak pa-pa, kan?"

Tidak butuh pikir panjang, Inge langsung mengangguk. Mengingat dia pun tidak sempat makan sebelum ke sini.

*

Hakata Ikkousha, Kemang,


Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya tiba giliran mereka dapat tempat duduk.

Ramen di sini memang cukup terkenal di Jakarta. Inge sendiri pernah sekali makan di sini dan harus mengakui enaknya kuah di sini. Usai memesan, Inge kembali pada fokusnya di awal.

"Kamu—aku nggak tahu kamu pernah gabung kerja di sana?"

Enggar tertawa sambil merapikan alat makan dan mangkuk-mangkuk topping ke tengah.

"Pernah, bantu cari founding. Terus, terpaksa meninggalkan karena harus PPDS. Kalau mau kerja kayak gitu, memang nggak bisa separuh-separuh fokusnya, sih."

Jakarta, Katanya (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang