Radio Dalam, Seminggu Setelahnya,
Di saat seperti ini, bahkan meski ia dibanjiri oleh Iced Signature Chocolate sekalipun, tidak akan mampu mengubah keadaan.
Endorfin seolah hilang begitu saja dari produksi kelenjarnya. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain meringkuk di atas ranjangnya, mematikan lampunya, dan mencoba melelapkan diri dalam isak yang tidak mampu ia keluarkan.
Mungkin Glenn ada benarnya, Inge seringkali kalah dengan keadaan.
Semudah itu pikiran mampu memenangkan pertempuran dengan dirinya.
Hanya butuh waktu beberapa menit untuk menenggelamkan matahari dalam diri Inge. Hanya lewat asumsi demi asumsi yang Inge bangun sendiri.
Tepat ketika ia sedang duduk tenang, di salah satu sudut kafe, bertemankan latte, memandangi saudaranya yang sedang selebrasi baby shower.
Padahal dirinyalah yang juga ikut dilibatkan dalam membuat kejutan. Namun, dirinya juga yang berkontribusi, mungkin, dalam menghancurkan pesta itu.
Entah datang dari mana pikiran itu, Inge langsung menyadari robohnya benteng pertahanan ia.
Seketika ruang menjadi sempit dan sesak bagi dirinya, seorang. Ia sadar, suasana akan lebih buruk jika ia tetap bertahan di sana. Tanpa banyak penjelasan, ia pamit pulang duluan.
Dan selangkah tiba di kamarnya, dirinya luluh lantak seketika.
Semudah itu pikiran menghancurkan pertahanan dirinya.
Dimulai dengan sekelebat pemikiran dirinya yang tumbuh bersamaan dengan saudaranya itu. Kilas balik ke masa lalu ketika mereka sama-sama berkejar-kejaran di depan rumah saudaranya, main lompat tali. Melewati tahun-tahun remaja bersama.
Namun apa yang terjadi.
Kini ketika saudaranya sudah settled-down dengan seorang calon anak laki-laki lucu dan suami yang sayang padanya, Inge masih menjadi seorang perempuan yang bahkan seringkali kehilangan dirinya sendiri.
Perempuan yang sepertinya nggak pernah layak dicintai siapapun. Nggak pantas diinginkan oleh seseorang pun di muka bumi ini. Entah sampai kapan dia akan merasa seperti ini.
Detik ini, bahkan melihat ponselnya yang sejak tadi berbunyi dengan berbagai notifikasi pun, Inge tidak sanggup.
Ia merasa tenggelam.
Dan lebih buruk lagi, ia merasa semua orang melihatnya tenggelam dan tidak ada satupun yang berusaha menyelematkannya.
Lagi, entah sampai kapan.
*
Jika sudah seperti ini, Niluh, rekan kerjanya dulu, jadi satu-satunya nama yang terlintas di benaknya.
Bahkan jika dibandingkan keluarganya, Inge merasa hanya Niluh lah yang bisa memahami kondisinya detik ini. Dan bersedia menyisihkan waktu untuk mendengarkannya walau ia sedang berkilo-kilo meter jauhnya.
Berselisih dua jam, Niluh yang sedang ada di Incheon rela merapat ke salah satu kafe demi bisa mengobrol dengan Inge via Skype.
Niluh bahkan rela liburannya diganggu. Wajah resah Niluh muncul di layar laptop Inge ketika panggilan berhasil terhubung.
"How are you feeling now? Dibanding semalam?" tanyanya berhati-hati sambil memegangi mok dengan uap di tangannya.
Inge berusaha tampak baik-baik saja dengan tertawa. Meski ia tahu, percuma, Niluh yang paham hal ini terlalu pandai untuk dikelabui.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jakarta, Katanya (Completed)
RomanceJakarta lebih dari sekadar kota, terutama bagi Inge Shafadila. Di sinilah sukanya bertumbuh jadi luka. Cintanya berubah jadi lara. Sampai satu malam, ia merasa tak sanggup lagi melanjutkan hidupnya. Ia pikir, mengakhiri adalah jalan terbaik. Namun...