Puri Kasablanka, Kasablanka,
Setelah menunggu sejenak di lobi tower Akasia, akhirnya laki-laki ini kembali. Dengan wajah sumringah dan membawa sebuah buku catatan berbahan kulit, coklat gelap, dan mengenakan kacamatanya. Setelah membungkuk ramah dan berterima kasih, mereka pun masuk ke mobil yang diperkenankan diparkir sejenak di dekat sana."Nyawa saya ada di sini, nih. Makanya sepenting itu sampai harus balik detik ini juga buat ambil ini. Besok pagi pasti deh konsulen saya todong buat diskusi. Semuanya ada di—"
Melihat Inge yang nggak berkata apapun, dia menahan kalimatnya.
"Thank you so much for being my glasses. Sekarang kita balik ya, bener deh," katanya seraya tersenyum pada Inge.
Sekitar pukul setengah satu, mobil yang mereka kendarai membelah jalan yang biasanya padat di siang hari. Pemandangan pengerjaan proyek bertebaran di sisi kanan-kiri jalan.
Jakarta memang tidak pernah tidur. Bahkan mungkin ibukota lebih hidup saat malam hari karena tidak harus berebut napas dengan warganya.
Ada wajah-wajah yang lelah di balik helm-helm proyek itu.
Kadang, Inge menemukan perasaan lebih damai saat melintasi arteri ibukota di malam hari. Seolah-olah semua hidup pada wujud sesungguhnya, sebagai manusia yang tidak perlu mengelak dari luka. Atau berpura-pura suka dalam duka yang sesungguhnya.
"Kamu ngantuk?" tanya laki-laki itu ketika mendapati Inge menguap.
Sesaat kemudian, tangannya sibuk meraih bantal leher di belakang.
"Tidur aja dulu. Nanti saya bangunkan kalau sudah dekat. Udah di maps juga, kan."
Sontak Inge menolak, "Kalau saya tidur, saya bakal melek semalaman."
"I wish I were you," tandas laki-laki itu pelan.
You better not to, pikir Inge dalam hati.
Baginya, tidak akan ada satupun orang yang berharap jadi dirinya detik ini di saat dirinya sendiri ingin hilang dari kehidupannya.
"I'm a sleepy-head person. Bahkan meski saya sudah tidur siang, nih. Kadang, kalau kebetulan dapat sif malam atau jam operasi malam, I pray so hard to not feeling sleepy," jelasnya panjang-lebar yang hanya berbalas deheman pelan Inge, "Sori, saya agak sugar rush kayaknya malam ini," kilahnya.
Dan selebihnya, lima belas menit perjalanan yang mereka tempuh hingga tiba di tempat Inge, hanya terisi oleh alunan lagu melo dari playlist acak di mobil ini.
Tidak ada upaya Inge menyulut percakapan, pun laki-laki di sampingnya. Seolah mereka berdua memberi ruang bagi udara memberikan hikmat lebih di detik-detik berikutnya. Dan mereka, tidak merasa canggung meski tanpa percakapan sama sekali.
Mudah bagi Inge mengingat siapa dia, tepat ketika laki-laki itu menepuk pundaknya di lorong swalayan tadi, pelan. Hal yang sama pernah pula ia lakukan pada Inge.
Enam bulan silam.
Ketika Inge berjalan menembus muka-muka tidak peduli para pejalan kaki di sepanjang Senayan. Ia ingat bagaimana laki-laki ini memanggil namanya, ketika bahkan dirinya tidak tahu akan pergi ke mana senja itu.
Di shuttle Transjakarta Gelora Bung Karno, menatap dengan mata tanpa nyawa di perbatasan antara tempat tunggu dan bus yang melintas.
Dan hari ini, orang yang sama, dengan intonasi dan nada suara yang serupa, dan mungkin—motif yang sama, kembali menyelamatkannya.
Namun Inge tidak tahu, haruskah ia berterima kasih atau justru menyalahkannya.
**
KAMU SEDANG MEMBACA
Jakarta, Katanya (Completed)
RomanceJakarta lebih dari sekadar kota, terutama bagi Inge Shafadila. Di sinilah sukanya bertumbuh jadi luka. Cintanya berubah jadi lara. Sampai satu malam, ia merasa tak sanggup lagi melanjutkan hidupnya. Ia pikir, mengakhiri adalah jalan terbaik. Namun...