Delapan Bulan Sebelum Malam Ini

702 48 0
                                    

Avenue, Kemang Village,


Di antara lautan pemuja istilah Thank God It's Friday, Inge salah satunya. Perempuan itu baru saja naik ke stool, sambil memegang Tiramisu Latte dan ekstra gula di tangannya, menunggu kehadiran rekan-rekan lainnya yang terlambat.

Heran.

Kenapa dia selalu jadi orang pertama yang tiba saat janjian? Entah itu dulu saat kencan, jalan sama teman, bahkan sampai urusan pekerjaan. Mungkin ini ya salah satu alasan yang membuat Inge seringkali ditinggalkan; 

Terlalu pegang janji.

Malam ini, area Avenue tampak lebih padat dari biasanya. Banyak lalu-lalang penyanyi dan artis di sekeliling Inge sejak tadi. Namun, satu-satunya fokus Inge hanyalah menemukan empat stool kosong untuk dia dan teman-temannya. Sebenarnya, Inge sama dengan kebanyakan orang lainnya. Girang bukan main kalau sudah masuk Jumat malam. 

Tapi tidak dengan malam ini.

"Sori, ada yang salah ya sama kopinya?" 

Inge yang mendapatkan posisi duduk tepat di meja bar, baru sadar sejak tadi ia diperhatikan oleh barista di balik mesin giling kopi ini.

"Mau coba kopi lain, mungkin?" tanya barista itu.

Inge sempat bingung sebelum kemudian ia sadar, ia baru saja menuangkan saset gula kedua di tangannya.

"Oh," ujarnya sambil meletakkan kopi ke samping, "Kopinya gak pa-pa, kok. Masalahnya di saya. Saya yang memang suka manis," jawabnya sambil tersenyum.

Masalahnya di saya.

Barista itu mengangguk, "Atau mau coba kopi ini? Saya kasih gratis, deh. Ada beberapa jenis, Mbak pilih saja," tawarnya, mungkin sedikit merasa bersalah dan masih tidak percaya kalau tidak ada yang salah dengan racikannya itu.

Ini bukan kali pertama Inge dapat tawaran kopi gratis. Setiap kali dia datang ke kedai kopi, bersama siapapun, selalu begitu. Minta gula dikira ada yang nggak beres dengan kopinya. Atau sebegitu besarnya keinginan para barista ini untuk meningkatkan kadar toleransi Inge pada kepahitan kopi.

Namun, tidak pernah ada satupun yang bisa. Mungkin, analogi yang sama dengan toleransi Inge pada kepahitan hidupnya belakangan ini.

Seberapapun banyak dan seringnya ia diberitahu bahwa ada hal yang lebih baik akan datang setelah kehilangan, nyatanya Inge masih saja tidak bisa berkawan dengan kepahitan.

Berbulan-bulan Inge mencoba lebih kompromi
pada kata merelakan, namun berbulan-bulan juga dia terperangkap dalam pertarungan, dengan dirinya sendiri.

Sampai akhirnya...
Malam ini ia merasa harus menyerah.

"Thanks," tolak Inge sopan sambil menggeleng, "Believe me, saya sudah pernah coba beberapa kali. Bahkan saat diracikkan langsung sama pemilik Filosofi Kopi, saya emang bukan peminum kopi sejati aja," ucapnya.

"Tapi di Tiramisu Latte juga ada kopinya loh, Mbak," teriak barista ini berusaha bersaing dan menang dari suasana bising musik di sekitar mereka.

"That's why I put more sugar on it," Inge menunjuk sobekan sachet di tatakan mok kopinya sambil tertawa, "Saya sering bayar lebih untuk dapat ekstra caramel syrup, di manapun."

Barista itu tertawa, "Awas diabetes, Mbak. Manis berlebih nggak baik," ucapnya sementara tangannya tetap lincah mengocok shaker dan matanya tetap teliti mengawasi staf di kedai ini, "Just saying," tutupnya menegaskan kalau itu hanya candaan.

Manis berlebih memang tidak pernah baik, apapun itu, terutama kenangan. Apalagi kalau ujungnya adalah perpisahan.

Mungkin laki-laki ini benar, andai saja Inge lebih bisa bertoleransi pada pahit dan mengurangi sedikit kecintaannya pada manis, mungkin hidup tidak akan terasa segetir ini. Sampai-sampai ia berpikir:

Apa lebih baik diakhiri saja?

Toh, tidak akan ada juga orang yang merasa kehilangan dirinya. Pada akhirnya ia selalu saja ditinggalkan. Seperti teman-temannya yang baru saja bilang kalau mereka akan terlambat lama sekali. Setidak penting itu Inge bagi mereka, sampai kenapa seolah selalu dirinya jadi satu-satunya yang paling berkomitmen dalam urusan apapun. Dan malam ini—

"Thank you for the coffee," Inge meninggalkan selembar uang di bawah mok.

"Teman-temannya nggak jadi datang, Mbak?" tanya barista ini heran.

"Datang. Tapi, kalau ada orang lain yang mau duduk, kasih saja dulu," jelasnya lalu beranjak pergi begitu saja.

Meninggalkan jejak bingung di wajah barista itu karena sebelumnya dia sudah pesan empat stool kosong di sini, tapi malah ditinggal pergi.

Malam ini, Inge sudah tidak lagi tahan. Ia yang biasa rela menanti, memilih pergi.

Selama dua puluh tujuh tahun, Inge mengira dirinya selalu mampu menang atas keraguan. Ia selalu berusaha untuk hidup dalam frasa positif. Meyakini bahwa semua akan baik-baik saja bahkan meski hal besar telah membuat hidupnya runtuh. Bertubi-tubi.

Ia selalu berusaha bangun di keesokan hari dengan keyakinan akan ada hari baru yang lebih baik. Lebih menjanjikan. Terus-menerus ia percaya pada prinsip itu. Sampai sesuatu terjadi enam bulan silam dan tidak ada hal yang berubah setelahnya.

Kalau sudah begini, apalagi yang harus dipertahankan dalam hidupnya?

Buat apa pula ia melanjutkan perannya dalam hidup jika hal yang dia bisa lakukan hanyalah menjadi penonton atas kisah hidup bahagia orang lain? 

Ah ya, hiduplah menjadi pribadi yang menebar cinta bahkan ketika diri kita sedang tidak dicinta. Persetan dengan prinsip hidup seperti itu.

Inge kini merasa, satu-satunya jalan terbaik untuk ceritanya adalah dengan diakhiri saja.

Toh, selama ini ia hanya berputar di bab yang sama sambil terus berharap ada bab berikutnya. Mungkin memang ada, dan bab berikutnya itu adalah epilog.

Epilog. 

Sepatah kata yang terngiang di kepalanya ketika ia menjejakkan kaki menyusuri lorong swalayan. Berpindah dari jajaran minuman ke obat-obatan. Ia baru saja usai mengambil minuman bersoda dan meraup setumpuk strip obat ketika seseorang menepuk pundaknya—

 Ia baru saja usai mengambil minuman bersoda dan meraup setumpuk strip obat ketika seseorang menepuk pundaknya—

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

**

Jakarta, Katanya (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang