Seminggu Berlalu

310 41 0
                                    

Menara Sentraya, Seminggu Setelahnya,


Sudah kali ketiga Inge menatap layar ponselnya. Menguncinya, membukanya, membacanya, kemudian menguncinya lagi. Begitu terus. Hingga Inge merasa lelah sendiri.

Ia menghembuskan napas kemudian menyandarkan tubuhnya ke belakang. Sepertinya Inge terlalu terburu-buru untuk membagi nomor barunya pada laki-laki itu.

Tunggu, bukan dia yang membaginya, tapi laki-laki itu yang memintanya.

Dan wajar saja, sama seperti rekan lainnya...

Laki-laki itu hanya sama seperti rekan-rekan lainnya, tegas Inge dalam hati.

Tapi, kenapa pula ia harus menawarkan hal yang-besar kemungkinan tidak mungkin ia tolak?

Tapi, kenapa pula ia harus menawarkan hal yang-besar kemungkinan tidak mungkin ia tolak?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Lengkap dengan kiriman tautan Instagram mengenai film ini. Kini Inge sepenuhnya dirundung bingung.

Ia memang tidak bakal ke mana-mana malam ini. Pun pekerjaannya yang sejauh ini baik-baik saja. Belum ada gelagat ia harus lembur. Kalau ia berangkat dari sini langsung ke sana, masih sangat terkejar.

Tapi bukan itu masalahnya.

Kalau ia setuju untuk datang, bisa jadi ini gerbang untuk dirinya menumbuhkan ekspektasi lainnya. Dan Inge, belum siap untuk terhempas dari gagalnya ekspektasi dia lagi. Dia belum merasa pulih sepenuhnya.

Kebimbangan masih menaunginya bahkan ketika jam sudah melewati angka enam.

Tidak ada pesan berikutnya yang pria itu kirimkan padanya. Mungkin laki-laki itu mengirim pesan secara broadcast pada teman perempuannya.

Just like that Keparat.

First reply, first serve, pikir Inge sambil terus memandangi ponselnya saat ia mengambil minum di pantri. Kenangan buruk nggak terelakkan merangkak ke pikirannya.

"Lu di sini rupanya," Farah datang dengan wajah tergesa-gesa, "Lu dipanggil Pak Isko. Sekarang, ya. Ke ruang meeting," ucap Farah padanya.

Barulah Inge sadar kalau dirinya sudah di-mention bolak-balik di group. Group kantor yang Inge mute selama ini.

Meletakkan moknya di meja, meraih laptopnya, Inge berjalan ke ruang meeting.

Wajah-wajah mumet menyambutnya saat dia membuka pintu. Pertanda buruk. Lagi-lagi dia diseret ke kubangan. Inge menghela napas, beranjak duduk di samping Farah.

"Mereka butuh tenaga tambahan untuk bereskan deck ini. Deadline-nya jam enam pagi besok. Jadi, boleh bantu mereka malam ini?"

Melipat tangan di dada, menatapnya intimidatif, Inge sadar, kalimat Isko yang satu ini bukanlah pertanyaan.

Meski kesal karena dirinya diseret tiba-tiba ke dalam proyek yang tidak melibatkannya sejak awal, tapi Inge senang juga.

Seolah semesta membantunya menjawab kebimbangan akan tawaran yang datang dari pria itu. Dengan penuh kemantapan, Inge pun meraih ponsel dan mengetikkan jawaban:

 Dengan penuh kemantapan, Inge pun meraih ponsel dan mengetikkan jawaban:

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Have fun.

Inge meringis getir.

Antara berusaha menyudahi chat dengan penolakan ramah atau kalimat pancingan. Seolah Inge tahu kalau dirinya bukan satu-satunya orang yang pria ini ajak ke acara itu. Well, thank Jakarta.

Ibukota mengajarkan Inge untuk menjadi pribadi yang lebih membuka mata. Bahwa menjadi prioritas dan satu-satunya hanya berlaku bagi bank pada nasabahnya.

Bukan untuk urusan asmara dan cinta. Setidaknya bagi dirinya. Dan ia harus belajar untuk melawan kebiasaan terlalu berkompromi dengan kata cadangan.

*

Inge sudah lebih dulu menyelesaikan seluruh bagiannya di deck saat Glenn baru saja meletakkan cup kopi dan sepotong donat di atas meja Inge. Inge yang sedang berkemas, langsung mendongak dan mendorong dua-duanya.

"Gue sudah selesai, ya. Kalau ada yang harus direvisi, bakal gue kerjakan dari kostan. Langsung kasih comment saja di bagian mananya. Gue duluan," ucap Inge sembari bangkit setelah memasukkan laptop ke tote bagnya.

Glenn masih berdiri di sana, "Jangan lama-lama dong, marahnya. Ini bukan dari gue kok, lagian. Dari Isko. Bawa pulang, gih. Lu pasti lapar nanti," kata pria ini merengek.

Agak tidak cocok dengan perawakannya yang tinggi tegap. Geli melihat ekspresinya, Inge tertawa.

"Nggak, lah. Ngapain juga gue marah lama-lama? Gue nggak minum kopi semalam ini. Dan carbs gue juga sudah melebihi porsi malam ini. Buat yang lain aja. Gue pamit ya," pungkas Inge menepuk pundak Glenn.

Ada kelegaan tertangkap di wajah koleganya yang satu itu.

Sementara di wajah Inge, meski ia sudah menyelesaikan bagiannya lebih awal dan bisa pulang, tidak tampak kelegaan sama sekali. Terutama ketika ia mengintip ponselnya.

Tidak ada balasan dari pria itu sejak ia mengirimkan jawabannya. Pasti sibuk dengan teman jalannya malam ini.

Fck. It happens again.

Inge telah terlalu dini berasumsi dan memaknai kehadiran pria itu di tengah kesendiriannya. Memang sebaiknya ruang ini dibiarkan kosong daripada terisi oleh sesuatu yang sebenarnya hanya akan meninggalkan hampa, lagi.

Karena Inge mungkin memang belum cukup kuat untuk menjadi figur satu-satunya di kehidupan seseorang.

Never Inge had someone fight for her, never.

Never Inge had someone fight for her, never

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

**

Jakarta, Katanya (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang