Kroma, Panglima Polim,
Hanya berselang tiga menit pasca Inge menjejakkan kaki di sini, Glenn melesat mendorong pintu.Ia menyambangi Inge yang sedang berdiri memesan di meja barista. Dengan tenang, Inge menyerahkan uangnya pada kasir, lalu menatap Glenn yang wajahnya tampak tidak nyaman.
"Lu nggak bisa pergi begitu saja kayak tadi," protes laki-laki dengan tinggi menjulang itu sambil membenahi cap hitam yang dipakainya.
Beringsut menuju salah satu bangku yang kosong di sudut dalam, Inge tidak memberi jawaban apa-apa selain tertawa getir.
Merasa bertambah kesal karena diabaikan, Glenn mendekatkan bangkunya ke sisi Inge, "Senggaknya lu harus pamit sama dia dulu."
"Sudah, kok," jawab Inge santai, mengeluarkan buku 'We Are Nowhere and It's Wow' dari dalam tote bagnya, beralih melepaskan kacamata, dan menaruhnya di meja.
"Kapan?" tandasnya dengan geram yang ditekan, "Gue bahkan nggak melihat lu pergi dari sana. Tahu-tahu lu sudah nggak ada," lengkapnya.
"Gue kirim Whatsapp ke dia karena dia kelihatan sibuk ngobrol dengan pengunjung lain."
Seolah kehilangan kata-kata, Glenn cuma bisa mendengus kesal. Ia menghela napas sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Asumsi lagi, kan?" decaknya, "Lu cukup bilang kalau lu mau duluan. Nanti juga dia bakal meninggalkan pengunjungnya buat ngobrol sama elu. Oh my god, Inge," keluhnya.
Barista mengantarkan Kokonut pesanannya, ditutup dengan seulas senyum ramah di wajah yang cuma berbalas senyuman seadanya.
"Gue rasa ini harusnya nggak perlu jadi masalah besar, ya."
Glenn masih berdesis getir sambil memandangi Inge yang terlihat sangat santai menyeruput minuman di tangannya sambil membuka halaman bukunya.
"Bukan soal ini masalah atau tidak, Inge."
Merasa jengah dengan reaksi Glenn atas kepergian Inge yang mendadak dari acara soft launching kafe temannya itu, Inge menoleh kemudian menghela napas kesal.
"Terus, mau lu apa? It's already happened anyway. FYI, he didn't even text me back."
"Because he's still busy," sergah Glenn cepat.
"Then what's the problem? Dia sibuk, gue cabut duluan, sudah pamit via Whatsapp juga. I think that's just a fine decision," ucap Inge santai kembali menyeruput minumannya.
Glenn mendekatkan dirinya ke Inge, mengurangi volume suaranya, "Sama-sama minum kopi, kenapa pula lu nggak santai lebih lama di sana, sih? Just chill a bit. Give him a time."
Napas Inge mulai memburu. Ia letakkan cup Kokonut. Ia tinggalkan bukunya sejenak. Tubuhnya terputar beberapa derajat menghadap Glenn.
"I don't like forcing my self to stay in a crowded place, without purpose. Apalagi orang lain, elu—nggak bisa paksa gue untuk chill a bit di sana. Karena gue bukan elu. Gue pun nggak pernah meminta elu untuk mengakrabkan kami berdua.
If he really wanted to spend his time with me, longer, then he would. Thank you so much for your kind intention, anyway. But, it's been enough for me," I'm done trying too hard, lanjutnya dalam hati.
Kalimat panjang lebar yang meluncur dari mulut Inge, seketika membungkus rapat semua ucapan Glenn.
Glenn tercenung diam.
Hanya suara musik lagu Korea yang tidak mereka kenal terdengar di penjuru kedai kopi ini. Bersama jejak-jejak hening yang Inge tinggalkan.
Inge menarik napas.
"So if you can't sit still, here—without bothering me with that kind of thing, kindly just leave me. Gue nggak keberatan menghabiskan minuman gue sendirian. I have a book in my hand," pungkasnya, lalu meraih kembali minuman dan bukunya.
"Gue pesan dulu, deh," jawab Glenn naif sembari bangkit. Ia tinggalkan ponselnya di sana. Bersama Inge yang cuma bisa geleng-geleng kepala menatapi kelakukan koleganya itu.
Jauh di dalam hati, Inge sendiri tidak tahu apa yang salah dengan dirinya, apa yang salah dengan maksud baik Glenn membantunya membuka diri kembali, apa yang salah dengan duduk santai lebih lama dan memberikan waktu ngobrol lebih banyak bagi teman Glenn itu.
Inge sama sekali tidak tahu. Mungkin memang belum waktunya.
Luka di dirinya masih terlalu basah. Dan satu-satunya cara untuk sembuh adalah dengan tidak menyentuhnya, oleh siapapun, dengan cara apapun.
**
KAMU SEDANG MEMBACA
Jakarta, Katanya (Completed)
RomanceJakarta lebih dari sekadar kota, terutama bagi Inge Shafadila. Di sinilah sukanya bertumbuh jadi luka. Cintanya berubah jadi lara. Sampai satu malam, ia merasa tak sanggup lagi melanjutkan hidupnya. Ia pikir, mengakhiri adalah jalan terbaik. Namun...