Jakarta Convention Center, Senayan,
"Thanks for today. Good job," pamit Isko sebelum menghilang di balik Porsche putihnya.Pemandangan orang-orang yang bergelimpangan di seluruh koridor depan hall menyambut saat Inge berbalik.
Di luar, pelataran basah diguyur hujan. Di genggaman, putaran ikon loading pada aplikasi online belum berhenti. Ada sepi yang kemudian berteriak di antara riuh di sini.
Detik ini Inge sadar, ada yang salah dengan Jakarta. Atau mungkin dengan dirinya.
Seberapapun kacaunya kota ini, atau cerita yang tertoreh di dalamnya, entah kenapa seolah selalu berhasil menghapuskan kata pergi dari pilihan hidup Inge. Hingga singgah seakan jadi satu-satunya keputusan yang bisa menyelamatkan.
Entah dari kondisi apa.
Inge beranjak duduk beralaskan map plastik yang dibawanya sejak tadi. Tanpa harap, ia memandangi sekelilingnya.
Jika mungkin ada motif yang membuat wajah-wajah lelah orang di sekitar sini tetap bertahan di ibukota, entah untuk apa dan siapa sebenarnya Inge memilih tidak pergi ke mana-mana selama ini. Tetap tinggal di ibukota bahkan ketika ia tidak lagi punya tujuan di kepala.
Seperti detik ini.
Bahkan ketika ia tahu, mungkin saja ia harus menunggu lama untuk pulang, ia tidak merasa panik.
Mungkin karena tidak ada rumah dan wajah yang menyambutnya pulang dengan ramah. Hanya tembok-tembok dingin dan samar suara tetangga sebelah yang menelepon kekasihnya sepanjang malam.
Dan mungkin, bahkan meski ia dua kali lolos dari percobaan menyudahi hidup, sebenarnya dirinya sudah tidak terselamatkan, sejak lama.
"And here you are again."
Lamunannya pecah ketika suara serak seorang laki-laki terdengar di sampingnya.
"Jadi, yang saya lihat di hall A itu benar kamu."
Terlalu dini berasumsi.
Inge pikir ia sepenuhnya sendiri. Di sini, di antara kerumunan asing ini. Laki-laki ini berdiri dengan teduh tatapnya dan hangat senyumnya.
Ia mengenakan setelan jas abu gelap yang melapisi kaus hitamnya, celana jeans, dan sepatu kedsnya. Berdiri tegap, ia menyampirkan tas laptop di pundak kanan. Sebelum kemudian berjongkok.
"Kamu lihat saya tadi?" tanya Inge tidak yakin.
Laki-laki itu mengangguk
"Saya datang ke acara di hall sebelahnya. Terus, pas lagi registrasi, sepintas saya lihat kamu masuk setengah berlari. Mau teriak, nggak yakin. Saya whatsapp pun, centangnya cuma satu," jelas laki-laki itu.
"Oh, nomor saya rusak. Saya ganti nomor," bukan penjelasan yang penting rasanya.
Mulut laki-laki itu mengerucut. Ia lalu memandangi sekeliling Inge sejenak, menatap jam di tangannya.
"Kamu di sini sendirian?" ucapnya.
Inge mengangguk.
Sejenak berpikir, kemudian menatap Inge kembali.
"Mau balik bareng saya aja?"
"Kaca mata kamu ketinggalan lagi?" tukas Inge.
Laki-laki ini tertawa. "Oh, nggak. Kalau saya nyetir sendirian, saya bisa ngantuk. Apalagi hujan begini. Padahal saya masih harus balik ke rumah sakit lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jakarta, Katanya (Completed)
RomanceJakarta lebih dari sekadar kota, terutama bagi Inge Shafadila. Di sinilah sukanya bertumbuh jadi luka. Cintanya berubah jadi lara. Sampai satu malam, ia merasa tak sanggup lagi melanjutkan hidupnya. Ia pikir, mengakhiri adalah jalan terbaik. Namun...