BAB 1

14.4K 805 28
                                    

Kedua mataku tidak bisa berhenti memperhatikan rahangnya yang bergerak konstan karena dia sedang mengunyah croissant kesukaannya. Sesekali aku menelan ludah sekuat tenaga. Bukan karena terkesima atau tergoda oleh jakunnya yang naik turun, melainkan karena melihatnya mampu membuatku lapar.

Wiryawan Bagaskara terlihat sangat menikmati croissant dan tidak terganggu sama sekali setelah aku memberikan map berisi berkas yang harus dia periksa. Hal itulah yang memabut perutku demo minta diisi. Terlebih lagi, aku juga belum sarapan.

Tapi tunggu dulu, selain nyaris kelihatan fokus karena croissant yang dia makan, aku pun harus mengakui bahwa dia sangat tampan hari ini. Kemeja slim fir biru tuanya begitu pas padan tubuhnya yang bugas. Rambutnya baru saja dipangkas rapi di kedua sisinya. Belum lagi, jambang tipis nan kasar itu membuktikan kalau dia definisi semakin matang dan berumur semakin keluar aura ketampanannya.

Yeah, usianya tiga puluh enam tahun. Aku yakin, nggak akan ada yang percaya fakta yang satu itu. Terlalu mustahil jika Wirya memiliki tampang di atas rata-rata dari kebanyakan laki-laki seusinya.

Dia lagi makan croissant saja bisa seganteng itu, apalagi kalau mode serius ketika bekerja. Aku yakin, banyak banget hati perempuan yang resah dan gelisah. Untungnya, aku bukan salah satu dari kaum perempuan yang akan resah dan gelisah kalau berhadapan dengannya.

"Ini salah," ucapnya setelah menelan croissant tersebut sembari menutup map berkas yang seharusnya dia tanda tangani kalau nggak ada yang salah.

"Jadi, saya salah ya, Pak?" Efek lapar jadi sedikit budeg kali, ya.

"Yaaa.... kalau misalnya yang salah itu tukang parkir minimarket di depan kantor kita, ngapain juga kamu harus ke saya, Ayasha?" ucapnya sedikit ketus setelah itu menyesap iced americano-nya.

Orang waras mana yang bisa meminum iced americano di bawah jam dua belas siang dan lambungnya bisa tahan? Kecuali kalau orang itu sudah nggak peduli akan kesehatan lambungnya.

"Salahnya di mana ya, Pak?" tanyaku sekali lagi seraya menggaruk-garuk kecil belakang leherku yang nggak gatal sama sekali.

Wirya mengangkat sebelah tangannya mengisyaratkan kalau aku jangan dulu bertanya sebelum dia selesai dengan croissant-nya. Dua hal yang menjadi bagian hidupnya setelah anaknya. Americano dan croissant.

Satu lagi fakta yang mungkin bisa membuat perempuan single berteriak penuh kesenangan adalah bahwa seorang Wiryawan Bagaskara adalah seorang duda satu anak!

"Kamu kasih naik berapa persen ke Pak Anton?"

"Pak Anton?" Aku membeo. Masih belum bisa connect dengan apa yang seharusnya menjadi pembahasan kami berdua.

Wirya berdecak lumayan keras. "Iya, general manager Hotel Asiatic yang kemarin minta rincian harga dan surat penawaran. Tadi pagi dia telepon saya, katanya harga yang kita kasih terlalu tinggi buat dia," katanya terdengar kesal. "Kamu bengong mikirin apa sih, Ya? Saya serasa lagi ngomong sama orang bloon tahu, nggak!"

Mulutnya memang pedas. Untungnya, aku sudah biasa. Kalau ada karyawan baru yang akan dia rekrut, mungkin hanya mampu bertahan selama dua hari kerja di perusahaan ini.

"Saya kasih kenaikan dua puluh persen, Pak," Penjelasanku membuat kedua matanya membulat. "Yang kayak biasanya kan emang segitu, Pak. Saya lihat data punya Mbak Karen juga selalu kasih kenaikan harga segitu kok, Pak."

"Ya ampun, Ayaaaa..." Dia dengaja memanjangkan akhirnya. Raut wajahnya berubah menjadi frutrasi. "Kalau kamu lihat data Karen ya jelas aja kamu salah. Itu kan yang biasa Karen kasih ke hotel yang emang udah lama jadi pelanggan kita. Kan Hotel Asiatic itu baru. Ngapain kamu kasih kenaikan harga segitu, Aya? Mau cepet kaya mendadak?"

Really Bad Boss!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang