BAB 3

7.2K 598 108
                                    

Aku menempelkan ponselku ke telinga kiri dan menunggu sambungan teleponku diangkat sama Kale. Membiarkan Wirya yang tengah sibuk memilih berbagai macam camilan untuk anaknya, sedangkan aku sudah selesai dengan belanjaanku. Hal yang membuatku kaget adalah ternyata belanjaan Wirya dan belanjaanku disatukan. Sempat melayangkan protes kenapa dia nggak bawa trolley sendiri kalau belanjaannya banyak, dan jawaban Wirya adalah, "Malas ah. Pintu masuk udah jauh. Disatukan aja kenapa sih? Apa kata orang kalau kita belanja bareng tapi pisah trolley? Nanti mereka nyangkanya kita kayak pasangan yang lagi berantem."

Perilakunya di kantor dan di luar kantor sangatlah berbeda seratus delapan puluh derajat. Aku bahkan sampai sakit kepala tiap kali mau protes kepadanya. Benar-benar orang gila! Apalagi kata-kata yang keluar dari mulutnya barusan.

Sialan! Kenapa aku harus terjebak bersamanya di sini? Hari liburku bukannya meringankan beban pikiran, ini malah nambah beban pikiran plus beban hidup.

"Halo, Aya?"

Sapaan Kale terdengar tak biasa. Kulirik jam tangan yang melingkar di pergelangan kiri tanganku, jarum jamnya sudah menunjukkan pukul dua belas siang. Kalau memang dia baru bangun, harusnya suaranya terdengar serak dan berat, kan? Ini kenapa dia kayak biasa saja? Malah terdengar kayak orang yang bukan baru saja bangun tidur.

"Aya? Ada apa nih telepon?"

"Tumben banget bangun tidur langsung semangat, Le."

Kale di seberang sana malah tertawa pelan. "Sori, ya. Chat-nya nggak kubalas karena tadi lagi nyetir."

"Oh, lagi mau ke mana?"

"Ke Bandung. Ada nasabah yang harus aku temuin di sana karena dia punya usahanya di Bandung. Jadi ya, gitu. Kamu tahu sendiri kan kalau ada nasabah yang mau pinjam buat usaha."

Tadinya, aku sedikit kecewa karena Kale nggak bilang seperti biasanya kalau dia akan pergi ke luar kota karena urusan pekerjaan. Biasanya dia selalu menelepon atau mengirimi chat jika akan bekerja di luar kota. Dan biasanya juga, Kale akan menawarkan oleh-oleh apa yang aku mau dibawakannya dari kota kunjungannya.

"Oh gitu, ya. Aku ganggu, nggak?"

"Nggak, kok." Aku bisa merasakan Kale tengah tersenyum di seberang sana. Duh, kangen banget sama Mas Pacar. "Lagian ini baru sampai Bandung dan lagi istirahat di hotel."

"Sama siapa?" Suaraku terdengar menyelidik.

"Curigaan banget deh kamu, Aya. Ya nggak sama siapa-siapa, lah. Aku kan ke Bandungnya sendiri. Mikirnya apaan, sih?" Kale terdengar tidak suka atas pertanyaanku barusan. Membuatku meringis pelan.

"Jangan dibiasain curigaan kayak begitu, Aya. Kita pacaran udah lebih dari empat tahun. Masa nggak percaya sama pacarnya sendiri?"

"Maaf Kale, aku nggak maksud kayak begitu sama kamu."

Kale berdecak cukup keras di seberang sana. Aku bisa merasakan kekesalan akibat pertanyaanku barusan. Bukannya curiga, aku hanya memastikan siapa yang Kale ajak ke Bandung. Memang salah, ya? Karena aku pun kalau pergi ke mana-mana pasti selalu laporan ke Kale.

"Kamu selalu aja kayak begini, Ya. Jadi nambah beban pikiranku sekarang, kan," keluh Kale. "Aku sayang sama kamu. Cinta juga. Apa dua hal itu masih bikin kamu nggak percaya kalau aku bakal mengkhianati kamu, Aya? Aku nggak pernah ada pikiran yang begitu, lho."

Aku terdiam sembari berjalan mengikuti arah Wirya ke mana. Sekarang, kami sudah ada di lorong bagian susu. Melihat Wirya sedang sibuk memilih susu yang biasa dia berikan kepada anaknya. Tiba-tiba, pandanganku yang sedari tadi lurus menemukan sosok yang kukenal tengah menghimpit ponsel di antara pundak dan telinga kirinya. Di kedua tangannya sudah ada dua kotak susu ibu hamil dengan rasa cokelat dan vanila. Sama sepertiku, sosok itu menemukan keberadaanku dan ekspresinya terkejut. Wajahnya seketika memucat sedangkan aku berusaha menangkal bahwa yang sekarang ada di depanku dan hanya berjarak beberapa langkah saja adalah, Kale.

Really Bad Boss!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang