Setelah sekian lama, akhirnya bisa update lagi. Hehehe...
Maafkan atas kelamaan ini. Bukan karena nggak ada ide, tapi nggak ada waktu buat ngetiknya :)
Semoga masih ada yang nungguin Aya dan Wirya update ya...
Tapi sumpah sih, kenapa ya pada nggak mau komen atau vote ya? Padahal butuh masukan buat cerita ini :)
Happy reading :)
***
Sudah seminggu sejak kejadian di panti asuhan tempat acara ulang tahun Farel, aku sama sekali tidak pernah mengobrol dengan Wirya di luar konteks pekerjaan. Menghindarinya juga setelah tahu maksud terselubungnya bersikap seperti itu padaku sehingga menimbulkan perasaan asing dariku.
Seharusnya, aku peka sama keadaan. Bukan malah membiarkannya sampai tahu sendiri dari Mbak Faya. Mulai dari sikapnya setelah aku putus dari Kale, segala macam candaan yang dia lontarkan bersama Mama, perhatiannya, permintaannya, dan juga caranya memuji permainan voliku itu dilakukannya demi bisa menjadikanku mangsa supaya orang-orang tidak lagi mengecapnya sebagai problematic husband.
Kalau memang dia bukan suami yang bermasalah, ngapain juga harus cerai dari Mbak Faya? Meskipun masih cinta sama mantan istrinya, tetapi Mbak Faya nggak kelihatan mau balikan sama Wirya.
Ya nggak salah juga, sih. Siapa yang mau hidup sama laki-laki kayak Wirya?
Aku yakin, setelah tahu kelakuannya yang kayak begini, akan banyak perempuan yang meragukannya.
Selama seminggu juga, Wirya masih mencoba untuk bisa mengobrol denganku secara berduaan. Namun, selalu terhalang dengan kehadiran rekan kerjaku. Dewi Fortuna saja tahu kalau dia itu problematic, makanya nggak memberikan kesempatan berduaan denganku ketika berada di kantor.
"Lo marahan sama Pak Wirya?"
Aku menatap Marsel sambil terus mengetik laporan yang harus kuserahkan hari ini kepada Wirya. "Marahan kenapa?"
Marsel menarik kursi kosong dan duduk di sana. "Ya mana gue tahu lah, Aya. Lo kan yang ngerasainnya sama Pak Wirya."
"Nggak deh," jawabku malas. "Gue nggak pernah marahan sama dia. Kalaupun misalnya sikap gue ke Pak Wirya kayak begini, ya harusnya lo tanya ke dia. Artinya, dia yang bikin masalah. Bukan gue."
"Sewot amat sih jawabannya," dengus Marsel. "Gue kan cuma aneh aja. Soalnya, waktu gue pulang dari Bali, dia heboh banget kan milihin oleh-oleh. Terus nggak jarang juga dia natap lo sambil tersenyum kayak orang bego."
"Cuma perasaan lo aja kali. Gue nggak pernah ditatap sama dia kayak begitu."
"Bukan perasaan gue, tapi emang kenyatanyannya kayak begitu," jawab Marsel sembari memutar kursi yang kududuki ke belakang. "Tuh, lihat. Dia udah berdiri di sana sejak sepuluh menit yang lalu."
Marsel benar. Kutemukan Wirya berdiri bersandar di sisi kusen pintunya sambil melipat kedua tangannya. Dia menatapku tanpa berkedip dan ketika kutatap balik, Wirya menerbitkan senyum lebar khasnya. Kedua matanya berbinar, sedetik kemudian, tangannya melambai pelan kepadaku.
"Bisa ke ruangan saya sebentar, Ayasha?"
Kenapa sih dia harus banget panggil nama panjangku?
"Belum selesai laporannya," jawabku jutek. "Nanti saya dimarahin."
"Nggak apa-apa. Saya nggak nagih laporan, kok."
"Ya udah. Terus ngapain saya harus ke ruangan Bapak?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Really Bad Boss!
Romance"Aya, malam ini tidur di rumah saya, ya?" "Nggak mau lah, Pak!" "Kenapa nggak mau?" "Saya takut hamil." Dia tertawa. "Nggak apa-apa. Saya pasti tanggung jawab, kok." "Dasar! Really bad boss!" *** Update Tiap Sabtu & Minggu