BAB 14

4.3K 412 74
                                    

Aya

"Ya Tuhan semesta alam, capek banget gue lihatnya, Aya."

"Raaa... gu-gue tuh nye-nyesel ba-banget tahu nggak sih?!"

"Ya udah, tinggal minta maaf. Apa susahnya sih?"

"Bukan masalah minta maafnya, Ra." Aku merengek kepada Rara sambil terus mengeluarkan air mata sejak sejam yang lalu.

Nggak peduli sama pandangan orang-orang di coffee shop tempat pertemuanku dengan Rara. Sedari tadi, pengunjung lain sesekali memperhatikan meja kami akibat isak tangisku yang masih belum bisa reda. Belum lagi, pegawai coffee shop tersebut beberapa kali menghampiri meja kami guna memastikan kalau aku baik-baik saja. Mereka juga bahkan memberika camilan dan minuman gratis kepadaku supaya aku bisa berhenti nangis dan tenang.

Ya nggak bisa! Masalahnya aku nggak bisa berhenti nangis karena mengingat kelakuan kejamku kepada Wirya.

Ya Tuhan, Wirya nggak ada salah apa-apa sama aku kenapa sikapku harus sedingin itu sama dia? Sampai dia jatuh sakit pun, aku pura-pura nggak peduli karena nggak mau bikin perasaanku kepadanya semakin menjadi dan dia berharap lebih.

Aktingku setelah ciuman panas yang terjadi antara aku dan Wirya pantas diberikan best actress oleh Academy Awards. Bakat aktingku kayaknya sudah melebihi Jennifer Lawrence, Natalie Portman, atau bahkan Olivia Colman sekaligus. Bisa-bisanya, sikap datar dan dingin palsuku berhasil membuat Wirya sakit-dan katanya nyaris gila.

Jangankan dia, aku saja hampir gila karena nggak tega lihatnya. Pakai segala ada niatan resign dari kantornya.

"Aya, gue nggak tahu nih masalahnya lo sama Mas Wirya apaan sampai bisa bikin lo nangis kejer kayak gini. Cerita dulu lah yang jelas. Bukan datang-datang langsung nangis kayak gini. Udah sejam, Ayasha lo nangis kayak orang gila."

Aku geleng-geleng kepala sambil meremas pelan rambutku. Berantakan sudah penampilanku sekarang. Maskara dan eyeliner saja luntur sampai membekas hitam di kedua pipiku. Lipstiku sudah pasti nggak keruan. Sudah bisa dikatakan, kalau aku ini sudah gila.

"Mas Wirya bikin lo sakit lagi?"

Aku menggeleng. "Dia nggak pernah bikin gue kayak gitu, Ra."

"Terus apa?" tanya Rara. "Atau Mas Wirya nggak mau serius sama lo?"

"Dia bilang mau nikah sama gue, Ra." Aku kembali mengeluarkan air mata penyesalan kesekian kalinya.

Rara menggeram frustrasi. "Terus masalah lo sama Mas Wirya apaan? Lo tahu kalau dia gay? Dan lo ngerasa tertipu sama orientasi seksual dia?"

"Cowok seganteng, seseksi, dan semaskulin dia yang bahkan rasa bibirnya lebih bisa bikin gue mabuk dari segelas wine, masa iya gay? Nggak mungkin lah, Ra! He's totally normal and straight for god's sake!"

"Gue mending pulang aja daripada jadi mandor lo nangis kayak gini, Ya. Asli dah." Rara melipat kedua tangannya. "Capek banget gue nebak Ya Tuhan semesta alam. Punya temen kayak gini, apa nggak pengin gue cekek longgar aja gitu?"

Aku menghiraukan semua ocehan Rara barusan. Kembali menangis dan otakku dipaksa memutar segala macam adegan ketika Wirya yang begitu lemas dan tak berdaya memohon kepadaku untuk tetap melanjutkan hubungan di antara kami.

Masih ingat jelas kedua matanya yang memerah, wajah pucat pasinya dan bibirnya yang bergetar kecil ketika dia berbicara, juga napas lelah dan keringat dingin yang bermunculan di kening dan pelipisnya. Rasanya aku mau banget menyekanya dan berkata kalau aku dan dia baik-baik saja. Nggak ada yang berubah. Tapi nyatanya, aku nggak bisa. Aktingku diuji waktu berhadapan sama dia.

Really Bad Boss!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang