BAB 4

6.2K 594 28
                                    

Jadi, setelah Wirya dengan sukarela dan tanpa protes menungguku di toilet yang cukup lama berada di tempat tersebut, sekarang kami sudah berada di dalam satu mobil yang sama. Mobilku dan Wirya yang menyetir. Dia terlihat excited begitu aku mengiakan ajakannya. Senyumnya bukan selebar tiga jari lagi, melainkan lima atau bahkan sepuluh jari.

Alih-alih langung pulang setelah aku selesai dari toilet, Wirya malah berinisiatif mengantarku pulang. Padahal, aku sudah menolaknya dengan dalih bahwa aku masih sanggup pulang sendiri setelah diputuskan oleh Kale sialan itu. Tapi, tentu saja bukan Wiryawan Bagaskara kalau tidak memaksa. Dengan keras kepalanya, dia tetap mau mengantarkanku pulang serta meninggalkan mobilnya diparkiran supermarket.

Ketika aku menolaknya, dia berkata, "Kamu baru diputusin, Aya. Nggak akan bisa pulang dan nyetir sendiri. Emangnya kamu mau sampai rumah tinggal jasad?"

Agak mengesalkan memang ucapannya tersebut. Seperti aku yang nggak akan pernah sanggup nyetir sendiri hingga mengalami kecelakaan maut di jalanan dan pulang tinggal nama.

Tetapi, ada juga ucapan-ucapan darinya yang kadang membuatku nggak habis pikir. Apakah Wirya ini tipe laki-laki yang hobinya flirting ke perempuan lain atau memang dia berkata apa adanya. Karena setelah lima menit bersamanya di dalam satu mobil, Wirya sudah berkali-kali mengeluarkan kalimat-kalimat seperti;

"Kamu cantik deh kalau udah dandan kayak begini. Bego aja tuh cowok kamu putusin perempuan secantik ini."

"Eh iya, itu bibirnya merah banget. Menggoda banget."

"Nah, kan! Kalau kayak gini, lebih kelihatan fresh. Jadi, nggak akan ada yang nyangka kalau kamu habis diputusin."

"Udah siap buat cari penggantinya mantan kamu? Saya nganggur, kok, hari ini. Siapa tahu, kamu mau nonton film atau apa gitu."

"Eh iya, kalau saya ke rumah kamu, boleh dong kenalan sama orangtua kamu? Terserah kamu mau kenalin saya sebagai atasan kamu atau pacar kamu. Saya terima aja."

"Jangan nangis lagi, ya. Sayang banget air mata kamu terbuang cuma buat nangisin bajingan yang bakal masuk neraka jalur VIP."

Tentu saja, semua celotehannya barusan tidak terlalu kutanggapi karena semuanya hanya omong kosong. Semua ucapan laki-laki nggak ada yang bisa dipercaya! Termasuk Wirya sekalipun.

Bukannya mengejek, tapi kalau memang dia nggak punya sifat dan sikap buruk saat menjalin suatu hubungan, pasti pernikahannya dengan Mbak Faya nggak selesai begitu saja.

Rumor yang pernah aku dan anak-anak kantor lain gosipkan adalah, Wirya yang menceraikan Mbak Faya dengan alasan bosan. Dan katanya dia itu problematic saat berumah tangga bersama Mbak Faya.

Yah, pada akhirnya semua laki-laki sama saja kecuali Papa.

"Diem terus," celetuk Wirya. "Ini nggak mungkin kan sehabis diputusin kamu langsung sariawan?"

Aku mendelik sebal ke arahnya. "Lagi mau diem aja. Capek banget denger Bapak ngomong terus."

"Yaaaa, kalau nggak ngomong-ngomong berarti saya mati, dong. Mulut itu dikasih sama Tuhan buat ngomong. Sayang banget kamu nggak gunain itu pas lagi ngobrol sama Ka—Kaleng bukan sih nama mantan kamu barusan?"

"Kale, Pak."

"Oh, saya kira Kaleng namanya." Dia melirikku sekilas, kembali memandang lurus ke jalanan. "Soalnya nyaring banget ngomongnya. Kayak nggak ada rasa bersalah sama sekali."

Dia tergelak, sedangkan aku menanggapinya dengan dengusan pelan.

Nggak lucu! Tipikal candaan bapak-bapak berumur di atas tiga puluh lima tahun yang nggak akan kena akal sehatku.

Really Bad Boss!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang