Hai, maafkan aku yang ngasih spoiler dari 2 hari yang lalu, tapi baru update sekarang :)
Masih ada yang nungguin nggak nih?
Ready? Vote dan komen dulu yuk
***
Wirya
"Bapak pucet banget mukanya. Sakit, Pak?" tanya Karen ketika melihatku baru saja tiba di kantor. "Iya, Pak. Bapak sakit, kan?"
Mataku melirik sekilas ke kubikel Aya. Dia terlihat tidak peduli dan terus memfokuskan diri pada layar komputer yang menampilkan lembar kerjaan.
Tambah sakit melihatnya yang bersikap tidak peduli seperti itu.
"Aduh, Pak. Kalau sakit kayak gini, mending pulang aja, deh," titah Karen terdengar khawatir. "Terakhir kali Bapak maksain ke kantor, ending-nya tidur di rumah sakit selama tiga hari."
Aya masih tak ada minat melirikku.
"Apa nggak sebaiknya—"
"Saya sehat," potongku pada Karen sambil memberikan senyum kecil. "Saya nggak apa-apa, Karen. Kamu tenang aja."
Karen mengangguk ragu.
"Laporan keuangan yang saya minta kamu taruh di meja saya ya, Ren. Saya mau ke pantry dulu."
"Oh oke siap, Pak."
Baru saja aku berbalik dan hendak melangkah ke kantor, samar-samar aku mendengar percakapan singkat antara Karen dan Aya.
"Pak Bos sakit. Khawatir banget gue sama dia. Takut harus dibawa ke rumah sakit lagi."
"Biarin lah. Dia yang sakit, kenapa kita yang repot?" Nada bicaranya terdengar dingin.
Apa dia benar-benar mau mengakhiri hubungan yang tak pernah dimulai ini?
"Udah tahu sakit, maksain ke kantor. Nggak waras," sambung Aya dan detik itu juga dadaku terasa sesak serta kepala semakin puyeng. "Biarin lah, Mbak."
"Nggak boleh gitu lah, Aya. Sesering apa pun Pak Wirya bikin lo kesel, tetep aja lo harus peduli sama dia."
"Ya orang dianya nggak mau dipeduliin, gue bisa apa, Mbak?"
"Lo kenapa?"
"Nggak," jawab Aya. "Gue cuma kesel aja. Kenapa sih orang-orang di sini sekarang lebih sering bahas keadaan atau kabar Pak Wirya kalau lagi ngobrol sama gue? Nggak ada topik lain apa? Capek gue dengernya. Gue kan bukan siapa-siapanya dia!"
"Masalah apa sih, Ya, lo sama Pak Wirya sampai kayak gini?"
Aya diam.
"Lo nggak serius kan, mau resign dari sini?"
"Surat resign tinggal gue print terus serahin ke Pak Wirya."
Aku terpaku selama beberapa saat. Aya mau resign dan dia tidak bilang kepadaku sebelumnya. Membuatku berpikir keras apa yang tengah dilakukannya sekarang.
Sudah tiga hari berlalu sejak kejadian ciuman panas yang begitu aku sukai—dan yakin Aya pun menyukainya, aku tidak pernah mengajaknya berbicara lagi. Bukan karena marah, melainkan memberikan space baginya setelah meminta kalau hubungan kami tidak usah dilanjut. Aku pun tak memberikan jawaban atas keinginannya tersebut. Karena bagaimanapun juga, aku tidak mau berakhir begitu saja. Harus ada penjelasan kenapa dia ingin seperti ini.
Kepalaku pusing. Pikiranku ruwet. Dan hidupku selama tiga hari belakangan ini sangat kacau. Farel sampai tidak terperhatikan olehku karena pikiranku tertuju pada satu pertanyaan yang sampai sekarang belum ada jawabannya; apa aku ada salah kepada Aya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Really Bad Boss!
Romance"Aya, malam ini tidur di rumah saya, ya?" "Nggak mau lah, Pak!" "Kenapa nggak mau?" "Saya takut hamil." Dia tertawa. "Nggak apa-apa. Saya pasti tanggung jawab, kok." "Dasar! Really bad boss!" *** Update Tiap Sabtu & Minggu