Bagian 8

2.8K 176 5
                                    

Dear Pembaca, sebelum masuk ke cerita, aku jelaskan dulu kenapa ini dimulai langsung ke bagian 8, lho bagian 1 sampai 7 mana? Bagian 1 sampai 7 menceritakan kehidupan pernikahan Malik dan Nadine-sebelum perceraian. Isinya ada tentang mengapa Aurel dan ibu kandung Nadine begitu membela Malik meski tahu ia berselingkuh? Ada juga mengenai gimana cara Nadine memperlakukan Malik sebagai seorang suami saat menikah. Itu semua secara eksklusif hanya ada di Karyakarsa. Jika kalian ingin tahu mengenai itu semua, kalian bisa baca di sana. Bisa membeli secara satuan atau paket 30 hari membaca cerita After Divorce. Jika kalian ingin menutup mata soal itu, kalian bisa membaca di Wattpad secara gratis dari bagian 8. Anggap aja gak mau tahu soal masa lalu Nadine dan Malik.

Terakhir, semoga kalian menyukai ceritaku. Jangan lupa taburkan bintang dan komentar di cerita. Hanur nuhun dan selamat menikmati.





"Aku masih boleh bertemu anak-anak?"

"Tentu, kalau anak-anak masih mau ketemu kamu." Nadine mengatakan kalimat itu dengan lugas dan penuh keyakinan. Wajahnya yang menahan marah juga terlihat karena aku berkali-kali menahan langkahnya yang hendak pergi dari Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Mungkin juga merasa lega karena ini adalah sidang terakhir perceraian kami.

Putusan cerai sudah dibacakan hakim beberapa waktu lalu. Juga mengenai banding yang kemungkinan aku lakukan untuk mencoba menahan laju Nadine yang ingin bercerai dariku. Tapi, setiap kali ide itu muncul yang dibayangi wajah Nadine, aku berpikir banyak hal. Tentang perbuatanku yang memang sangat tidak termaafkan. Aku merasa jika Nadine berhak untuk hidup bahagia meskipun aku sadar jika itu berarti tanpa kehadiran diriku.

Selama sembilan bulan hidup diliputi kecemasan luar biasa. Setelah Liana yang mengabari kehamilannya padaku, aku tidak akan pernah hidup dengan tenang. Setiap kali melihat Nadine dan anak-anak, aku selalu dihantui rasa bersalah pada keempatnya. Aku telah menyakiti empat orang yang kucintai dalam hidupku.

Ketika akhirnya Hanum lahir, ketakutanku semakin besar. Aku berusaha meyakinkan Liana untuk mengurus Hanum untuk sementara waktu di kontrakannya yang aku bayari. Ia telah dipecat oleh Bu Dewi setelah tahu perempuan itu hamil tanpa suami. Aku yang menyadari kesalahanku langsung membayari kehidupannya selama hamil, termasuk tempat tinggalnya.

Di momen itu, aku bersyukur dengan prinsip hidup Nadine. Ia tidak mencampuri urungan keuanganku. Baginya, aku cukup langsung membayar uang sekolah anak-anak, listrik, WIFI, telepon, PAM, laundry pakaian, hingga belanja bulanan. Dan beberapa nominal yang juga aku transfer pada Nadine untuk di-save. Bahkan, hingga detik ini, Nadine tidak pernah mau tahu mengenai PIN ATM atau mobile banking-ku. Katanya, aku harus tetap memiliki privasi meskipun dari istriku sendiri.

Aku menatap Avanza yang dikendarai mantan istriku melewati tubuhku. Dari kaca depan, aku melihat sosoknya menatap lurus di balik kemudi. Matanya enggan untuk sekadar menoleh melihatku. Ia benar-benar pergi dari kehidupanku. Nadineku, cinta pertamaku, perempuan yang aku cintai sepenuh hati telah pergi membawa separuh hidupku.

"Pak Malik," suara Pak Ahmad terdengar. Pengacara Nadine berdiri beberapa langkah belakangku.

Aku yang berpikir jika laki-laki itu telah lebih dulu meninggalkan gedung pengadilan ini segera menghampirinya. Laki-laki paruh baya itu menatap ke arahku. "Iya, Pak."

"Sebelumnya saya mau tanya. Apa Bapak akan melakukan banding?"

Aku terdiam. Banding dan memperlama proses perceraianku dengan Nadine? Itu terdengar menarik. Setidaknya aku dapat mengulur waktu untuk berpisah dengan istri yang sangat kucintai. Tapi aku dapat apa? Bahkan selama tiga bulan ini, aku sudah merasa kehilangan Nadine dan ketiga buah hatiku bersamanya. Keluar dari rumah di Kebagusan dengan membawa perasaan kosong. Aku tahu jika akhirnya, Nadine memang akan tetap pergi dari kehidupanku. Meninggalkanku seorang diri.

After Divorce-Cerita MalikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang