Bagian 14

1.2K 106 12
                                    


Bukan pilihanku ketika suara Nadine menggema di mobil yang kukemudikan. Ia menunjuk sebuah restoran yang akan kami datangi di Minggu siang ini. Aku memutar kemudi ke arah kiri untuk memarkirkan mobil.

Ternyata bukan restoran besar yang sejak semalam ada dalam benakku. Hanya seperti rumah besar dengan tiang putih sebagai pondasi di depannya. Di sisi depan, ada jendela besar dan tinggi yang ukurannya sama persis dengan pintu masuk. Hanya itu dan papan di atas dekat arah pintu masuk terdapat sebuat tulisan, Tier Siera Resto & Lounge. Ketika aku dan anak-anak masuk, langsung disuguhi dengan pemandangan lampu-lampu sebagai ornamen. Berlantai cokelat dengan dinding putih, yang senada dengan warna atapnya.

"Papa tempatnya bagus, ya?" Aurel berseloroh di sampingku. Ia terus merangkul tanganku. "Makanannya pasti enak," tambahnya lagi.

Aku hanya menanggapi dengan anggukan dan senyuman. Bagaimana bisa memikirkan rasa makanan jika dadaku berdetak dengan keras. Memikirkan mengenai apa yang terjadi selanjutnya membuat perutku bergejolak. Aku tidak dapat memikirkan apapun selain kecemasan yang luar biasa.

"Kita duduk di sana, Ma?" tanya Zidane. Ia menunjuk meja makan lebar di dekat pintu masuk. Yang dindingnya bermotif bata merah-kontras dengan dinding lainnya.

Nadine menggeleng. "Kita makannya di luar, Abang."

Anak itu mengangguk. Terus mengikuti mamanya hingga pintu belakang. Ada meja bundar dengan kursi rotan yang saling berhadapan. Meja-meja yang ditaruh dengan saling berdampingan. Berjejer hingga dapat menampung delapan orang.

Di antara beberapa pengunjung, mataku memperhatikan sekeliling. Mencoba menajamkan penglihatan mengenai sesuatu itu. Mungkin Om yang diceritakan Zidane dan Ibra kemarin. Mungkin juga sosok profesor yang disebut Miranda. Di sudut, ada seorang pria yang mungkin seusia Papi dan Ayah. Rambutnya putih dengan jenggot yang cukup panjang, senada dengan warna rambutnya. Mungkinkah profesor itu yang dimaksud Miranda? Aku menggeleng. Bukan, laki-laki itu lebih cocok menjadi ayahnya Nadine di banding.... Ah, aku tidak ingin berekspetasi yang justru membuat hatiku sakit.

Di sampingku, ada Aurel yang memandang takjum pemandangan ini. Di depan kami, ada hamparan atap rumah-rumah. Berada di ketinggian, kami dapat melihat keindahan alam yang bercampur dengan tangan manusia. Kekaguman yang seharusnya membuat hatiku gembira.

"Malik," suara Nadine memanggil namaku. "Kita duduk di sana," ia menunjuk sebuah kursi di sisi lain.

Aku mengikutinya hingga akhirnya kami berada di depan kursi bulat itu. Bukan hanya keluargaku yang akan menikmati hidangan restoran di meja ini tapi juga ada dua sosok lain. Seorang perempuan muda yang usianya mungkin hanya beberapa tahun di atas Aurel. Perempuan itu menggunakan dress biru muda yang padukan dengan rambut panjangnya yang tergerai. Di sampingnya ada laki-laki bertubuh sedikit gemuk dan berwajah oval. Rambutnya tidak sepenuhnya putih. Masih ada sisi hitam. Juga dagunya bersih dan menyisakan kumis tipis. Alis yang tidak begitu tebal dengan menggunakan kacamata. Tubuhnya dibalut kemeja.

"Eh, ada Om lagi," suara Zidane yang menginterupsi.

Mataku waspada memandang sosok kecil di dekatku. Zidane dan Ibra yang tersenyum memandang laki-laki di hadapan kami. Laki-laki itu tersenyum membalas sapaan Zidane.

Katanya, "Kita ketemu lagi, Zidane dan Ibra."

Ibra justru meringsut ke tubuh mamanya. Ia masih malu meskipun kemarin antusias bercerita tentang laki-laki itu. Baguslah, mereka tidak boleh nyaman berada di dekat laki-laki dewasa lain selain diriku. Hanya aku yang boleh membuat keduanya nyaman.

Tapi, suara Nadine akhirnya menginterupsi awal pertemuan kami. "Prof, kenalkan, ini Malik, papanya anak-anak," katanya. Ia menoleh ke arahku. "Malik, Ini Profesor Haris."

After Divorce-Cerita MalikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang