Bagian 19

1.3K 131 20
                                    


"Good night, Sweetheart," bisikku seraya mengecup kening Hanum. Aku menarik selimut bergambar kereta Tayo hingga menutupi dadanya. Aku menyalakan lampu tidur dan mematikan penerangan utama sebelum keluar dan menutup pintu kamar putri kecilku. Dengan perlahan, aku melangkah menuju kamarku di sebelah kamar balita mungil itu. Tidak ada connection door antara kamarku dan Hanum seperti dulu kamar anak-anakku dan Nadine. Aku membeli jadi rumah ini sesuai dengan yang sudah dibangun pemilik sebelumnya. Juga tidak memiliki cukup waktu dan pikiran untuk mengubah sesuai keinginanku. Saat itu, aku berupaya mencari rumah sedekat mungkin dengan kediaman anak-anak. Hanya itu keinginanku.

Saat merebahkan tubuh di kasur, mataku justru sulit terpejam. Yang kulihat justru atap yang tidak ada apapun di dalamnya. Kosong dan seperti melukiskan perasaanku saat ini. Rasanya hampa. Setiap malam dari Minggu hingga Kamis. Kecuali dua hari di mana anak-anak bisa menginap di sini. Hidup berdua dengan Hanum nyatanya masih membuat dadaku merasa kosong. Ada sesuatu yang ingin kuisi dengan kehangatan keluarga dan cinta dari seorang istri. Sesuatu yang sangat mustahil kulakukan.

Sudah hampir sebulan setelah pertemuanku dengan Profesor Haris. Tidak ada yang berbeda dari pertemuan itu. Aku masih enggan menceritakan hubungan mereka pada Aurel, yang seharusnya menjadi orang pertama yang tahu sebelum Zidane dan Ibra. Tapi, aku tidak sanggup. Melihat binar itu berubah menjadi kesedihan membuatku tidak tega.

Suara derit ponsel membuyarkan lamunanku. Aku melirik nakas yang berada di sampingku. Di atasnya ada ponsel yang sengaja keletakkan di sana. Ada nama Aurel dari layar datar. Sebuah pesan dikirimkan putri cantikku.

Pa...

Aku mengernyit. Sudah hampir jam sembilan dan Aurel masih menggunakan ponsel? Sangat aneh sekali. Biasanya, di jam delapan malam, Nadine sudah sangat ribut untuk segera mengambil ponsel putri sulungnya. Ia akan menaruhnya nakas dan memberikan pada Aurel keesokan pagi.

Kenapa, Teh? Kok, masih pegang HP?

Boleh sama Mama. Pa, Mama sibuk bgt ngurusin mahasiswanya. Emang kalo mahasiswa blh chat dosen mlm2?

Kali ini, keheranku semakin bertambah. Itu sangat bukan Nadine sekali. Aku memahami bahwa ia sangat mencintai pekerjaannya sebagai dosen. Tapi mengurusi mahasiswa setelah jam enam sangat bukan dirinya. Bagi Nadine, di rumah adalah waktunya bersama anak-anak setelah seharian bekerja.

Apa hubungannya sama Teteh yg dibolehin pegang HP?

Aku melihatnya mengetik tetapi belum muncul balasan darinya. Tadinya, aku ingin langsung meneleponnya tapi batal. Biasanya, tanpa pernah diminta, gadis remaja itu akan senang hati meneleponku terlebih dahulu. Ia pasti takut mamanya berubah pikiran saat mendengar suaranya menelepon. Jadi, segera kuurungkan niatku.

Ya beda, Pa. Aurel jd bisa chat sama papa tersayang.

Ia bahkan menambahkan emotikon cinta di akhir kalimatnya. Aku hanya mampu tersenyum memandangnya. Gadis itu tidak akan pernah bisa responsip dengan gaya seperti ini di depan mamanya. Yang ada hanyalah perdebatan karena dua-duanya keras kepala. Lebih dari itu, Nadine sangat tidak menyukai ucapan romantisme seperti itu.

Ya udah, tidur, Teh. Besok sekolah.

Iya, Pa. Aurel mau ke mama dulu.

Setelah itu percakapan terhenti. Aku kembali diliputi kesunyian setelah beberapa saat tadi sedikit berwarna. Iya, memang seperti itu perasaanku setiap kali berkomunikasi dengan anak-anak, khususnya Aurel. Persis seperti yang dirasakan Aurel. Ejekan Nadine adalah aku ini seperti pacarnya Aurel.

Mataku melirik nakas dan mencoba memejamkan mata. Tubuhku harus segera beristirahat. Namun, saat mataku terpejam, aku merasakan dadaku bergejolak kencang dalam mimpi.

After Divorce-Cerita MalikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang