Setelah ratusan purnama, aku nongol lagi. Maaf karena repot sama pertugasan dan tesis. Selamat membaca.....
Nadine menatap ranjang yang ditempati Aurel. Dengan tangannya yang terlipat. Matanya melihat penuh nanar putri sulungnya yang tertidur dengan memunggunginya. Ia tidak bersuara. Aku yang berdiri di sampingnya hanya mampu terdiam-membiarkannya hanyut dalam perasaan yang membuncah setelah peristiwa pagi tadi.
Posisi kami hanya dua langkah dari pintu kamar yang dibiarkan terbuka. Lampu utama sudah dipadamkan dan menyisakan sinar lampu kamar di atas nakas samping tempat tidur. Suasana yang temaram dengan cuaca sejuk dari pendingin udara menyisakan sunyi. Mataku melirik ke arah kiri-mendapati Nadine masih setia memandang Aurel. Aku tidak dapat memahami tatapan wajahnya. Di balik sifat keras kepalanya, ia ahli dalam menekan emosinya.
Setelah tangisan Aurel reda, ia akhirnya mau sarapan setelah kusuapi persis seperti balita. Meski masih menyisakan isak, ia bersuara padaku. Dari mulutnya keluar kalimat yang membuatku tercengang. Aku sama sekali tidak percaya bahwa putri yang kucintai mengatakan kalimat itu-yang tentu akan sangat menyakitkan bagi Nadine.
"Aurel mau tinggal di sini sama Papa."
Aku memahami hatinya yang begitu terluka. Pasti berat untuknya menerima fakta ini. Sebuah harapan dan angan-angannya selama ini harus sirna. Sudah tidak ada celah baginya membuat kami terus bersama. Itu menghancurkan perasaannya.
Nadine belum tahu itu. Setelah ia pergi mengantar anak-anak ke sekolah dan Hanum ke daycare, ia belum bertemu dengan Aurel lagi. Anak perempuan itu langsung meminta ke rumahku dan enggan kembali ke rumah mamanya. Bahkan, saat makan malam tiba, ia enggan beranjak. Aku harus membawakan makan malam agar perutnya tetap terisi.
Kepalaku buyar saat Nadine beranjak untuk melangkah menuju tubuh Aurel. "Nadine," panggilku pelan. Aku tidak mau ada keributan di sini. Anak itu sama keras kepalanya dengan Nadine. Mereka tidak akan pernah menemui jalan tengah setiap kali ada masalah. Keduanya tidak ada yang mau menurunkan ego dan mengalah.
Tanpa menoleh, Nadine berkata, "Aku enggak akan membangunkan Aurel." Ia membuktikan ucapannya dengan menunduk untuk memberikan kecupan di wajah anak sulungnya. Hanya sesaat sebelumnya akhirnya berbalik. Saat berada di sampingku, ia berbisik, "Kita perlu bicara di luar."
Aku mengikuti langkahnya menuju ruang tengah. Ia masih berdiri. Tidak duduk di sofa depan televisi. Ketika aku sudah di sampingnya, ia berbalik dan menghadapku.
"Aurel enggak akan pernah memaafkan aku, kan, Malik?" tanyanya.
Aku menatapnya seraya menggeleng. "Dia cuma kesal sama kamu, Nad."
"Kesal kenapa? Karena aku enggak bisa balik sama kamu?" ia menghembuskan napasnya dengan kesal. "Aku enggak paham, Malik. Kenapa dia sulit menerima kalau mamanya punya pasangan baru? Hubunganku dan Profesor Haris dimulai dengan cara yang baik-bertahun-tahun setelah aku bercerai dan istrinya meninggal. Sedangkan kamu..." ia menjeda kalimatnya. Mungkin memikirkan kalimat yang cukup sopan untuk mengingatkan dosa dan kesalahan fatalku. "Dia dengan mudah memaafkan perselingkuhan kamu. Bahkan terus memaksa agar kita menikah lagi."
"Nadine...."
Ia menahanku yang ingin mengeluarkan kalimat. Tangannya terangkat ke arahku. Ia kode agar aku tidak berbicara. Ia belum selesai mengeluarkan isi kepalanya.
"Aku enggak bisa. Terserah kalau kamu mau bilang aku egois karena lebih mementingkan kebahagianku daripada anak-anak. Karena mereka harus belajar untuk menerima segala hal meskipun itu bukan hal menyenangkan untuk mereka. Mereka harus menerima kalau akhirnya aku akan menikah dengan Profesor Haris."
KAMU SEDANG MEMBACA
After Divorce-Cerita Malik
RomantikCerita ini melanjutkan kisah Nadine dan Malik dengan point of view tokoh Malik. Ada banyak hal yang diceritakan Malik mengenai kehidupannya pasca perceraiannya dengan Nadine. Bagian 1-7 menceritakan kehidupan sebelum perceraian terjadi. Kalian bisa...