B1 || Ghoul Air

874 118 10
                                    

Bab 13 : Berburu Ghoul Air.
Dia kehilangan sesuatu yang berharga saat mabuk.

Kota Caiyi. Tempat investigasi. Wei Wuxian dan Lan WangJi berjanji akan bertemu di dermaga pada esok harinya dengan Lan Xichen dan Jiang Cheng. Empat orang itu berpisah dengan pasangan masing-masing, menyewa kamar inap.

Kota Caiyi memiliki penduduk yang cukup padat, kamar-kamar inap yang selalu penuh oleh pengunjung kini nampak lenggang. Beberapa diantara mereka bahkan terlihat kotor dan kosong, nampak seperti rumah hantu. Kota Caiyi yang awalnya sering didatangi pengunjung, kini mendadak sepi karena beberapa rumor meresahkan tentang ghoul air yang memakan manusia. Akibatnya, pengunjung tak lagi berani untuk datang ke kota ini.

Meski begitu, kota Caiyi masih tetap ramai dikunjungi berbagai orang di setiap kedai yang ada di pinggir sungai. Beberapa orang bahkan masih berani berjualan di atas perahu-perahu kecil. Sebagiannya lagi, melakukan tour di atas sungai.

Pada malam hari di kota Caiyi, lentera harapan akan menyala menerangi sungai. Beberapa juga menerbangkan lentera berkah yang menghiasi langit. Malam yang penuh dengan cahaya, seolah kejadian Ghoul air hanyalah gosip belaka.

Tak jauh dari penginapan, tepatnya di sebuah kedai makan, dua orang sesama jenis tengah duduk berhadapan, dilantai dua, dekat dengan balkon. Yang satu dengan pita merah yang mengikat rambutnya, yang satu bercepol dan fokus makan.

"Aaaah!! Meski arak ini tidak seenak arak yang ada di Gusu, tapi yang namanya arak tetap arak."

Pria berbaju putih, dengan rambut cepol itu mendengus, meletakkan sumpit di atas mangkuk tembikar hingga berbunyi ting  yang jelas.

"Berhenti mengoceh. Minum saja sesukamu. Nikmati selagi kita berada di luar daerah Gusu."

"Haaah, A-Cheng, kau tidak tahu sih. Arak di Gusu itu rasanya manis, tidak ada bandingan sama sekali." Jiang Cheng tahu betul kalau Wei Wuxian seorang alkoholik. Meski menghabiskan seratus kendi arak, dia tidak akan mabuk. Dia benar-benar sesuatu.

Wei Wuxian menuangkan arak di mangkuk Jiang Cheng, kemudian berkata, "coba sedikit."

Meski ragu-ragu, dia tetap mengangkat mangkuk itu dan membiarkan sesuatu yang terasa asam, dan panas mengalir ke kerongkongannya. Jiang Cheng tidak bisa tidak menutup mata dan mendesah merasakan rasa dari arak itu.

"Rasanya buruk sekali. Tidak minum lagi." Wei Wuxian tertawa. Jiang Cheng memang sangat jarang menyentuh arak. Jarang, bukan berarti tidak pernah minum. Dia hanya minum sesekali saat keluar seperti ini. Di yunmeng, seluruh keluarga sangat jarang minum arak dan lebih memilih teh untuk penutup. Karena itu, Wei Wuxian akan membeli dan menghabiskan seluruh kendi hingga ia merasa puas jika keluar jalan-jalan ke kedai.

"Hei A-Cheng. Menurutmu, mengapa orang-orang dari Gusu Lan tidak meminum arak?" Wei Wuxian mengangkat sebelah alisnya, penasaran.

Jiang Cheng mengendikkan bahunya dengan acuh, "tidak tahu. Kenapa tidak tanya langsung pada suamimu? Apa kau sudah jadi idiot sekarang?"

"Aiyaaaa... mulutmu pedas seperti biasa. Ayo-ayo, bersulang." Wei Wuxian memaksa Jiang Cheng untuk minum hingga kedua kalinya. Walau menolak, Jiang Cheng tetap terpaksa meminum arak yang sudah dituangkan. Tidak boleh membuang makanan atau minuman. Jiang Cheng tahu peraturan keluarga sua-ekhem Lan Xichen.

"Dua tuan muda ini. Pesanan anda." Pelayan kedai menaruh dua mangkuk mie di atas meja. Lalu pergi. Mie itu terlihat enak dipandang, potongan-potongan mie-nya tidak terlalu tebal, tidak pula terlalu tipis, ditaburi dengan daun bawang dan minyak hingga kuahnya terlihat mengkilap.

Malam semakin larut saat Wei Wuxian dan Jiang Cheng masih  berada di kedai makan. Wei Wuxian yang sudah menghabiskan separuh dari kendi arak, dan Jiang Cheng yang hampir ambruk. Wajahnya memerah, dia melantur ketika berbicara, terus menambah porsi minumannya.

"Hei A-Cheng. Kudengar, di dekat sini ada rumah bordil. Mau ke sana?"

Jiang Cheng menatap Wei Wuxian dengan  mata satu, "hmm? Untuk apa? Kau mau jual diri ke sana? Tidak. Kau saja."

"Ck, aiyyaaaaa!! Mari lihat pria-pria cantik. Kudengar rumah bordil itu bukan tempat wanita, tapi tempat untuk sesama pria. Katanya, pria-pria di sana sangat cantik."

"Dengar dari siapa?"

"Menurut rumor."

"Bagaimana dengan suamimu?"

"Tentu saja tak tertandingi, tapi Lan Zhan terlalu dingin, aku butuh refreshing, makanan di sana juga enak. Ayo pergi."

Sebelum Jiang Cheng membuka suara, Wei Wuxian menariknya keluar dari kedai. Dengan kesadaran hampir diambang batas, Jiang Cheng melangkah terhuyung-huyung. Kadang-kadang dia mengumpat, atau tersandung.

Malam semakin terang saat langit semakin gelap namun berhias bintang. Lan WangJi dan Lan Xichen berjalan beriringan sambil terus bertanya kepada orang-orang di sekitar apakah mereka melihat dua sosok yang sedang mereka cari.  Sudah hampir jam sebelas malam, dan pasangan mereka itu belum kembali. Semakin larut di kota Caiyi, maka semakin ramai pula orang-orang yang berlalu lalang. Kota itu nampak seperti distrik merah yang di penuhi kupu-kupu malam di setiap ruangan.

Suara musik berdentum dilantai satu, para penari mulai menari dengan anggun di tengah-tengah panggung. Wei Wuxian dan Jiang Cheng duduk di sudut sambil menikmati beberapa aneka kue dan arak lagi. Jiang Cheng rasa perutnya akan meledak sekarang.

"Aaaah! Membosankan!" Jiang Cheng yang sudah mabuk, menatap pemain pipa diatas panggung. Dia berdiri, lalu berteriak, "orang busuk! Bisa bermain tidak?! Musik gergaji apa yang kau mainkan,hah?!"

Dengan teriakan melengking itu, semua yang ada di sana terdiam. Wei Wuxian menutup mulut Jiang Cheng, agar tidak membuat malu. Jika Jiang Cheng sadar, dia pasti akan melakukan bunuh diri.

Jiang Cheng memberontak. Dia berjalan keatas panggung dengan langkah terseok. Mengambil pipa kemudian memetik senarnya dengan keras.

Jreeeeengggg...

Jreeeeengggg....

Kaki kanan sebagai tumpuan, kaki kiri lurus ke belakang, tangan kiri menekan nada, dan tangan kanan memetik senar. Dia nampak seperti anak punk rock jalanan yang sedang mengadakan konser dadakan.

Ketika pipa dimainkan dengan lihai, seluruh manusia yang ada di sana berteriak seperti penggemar melihat idolanya. Orang-orang yang ada di lantai dua bergegas keluar hanya untuk menyaksikan Jiang Cheng yang memainkan pipa dengan cara yang berbeda.

Ruangan itu penuh dengan musik dari Jiang Cheng. Dentuman demi dentuman terus menggema seperti orang berdemo. Menyuarakan kesenangan mereka. Berteriak, bertepuk tangan, dan menari.

"DAGE!! KAU SANGAT HEBAT!!"

pria di sisi lain balas berteriak, "Dage!! Ini adalah sebuah mahakarya!!"

"Wuhuuuhuuuuu!! Dage!! Musikmu benar-benar sesuatu!! Lakukan lagi!"

"Dage!!"

"Kakak besar!!"

Semua orang memanggilnya kakak besar. Dengan lengan baju yang sudah di robek hingga sebatas ketiak, celana yang dilipat ke atas, rambut yang di biarkan tergerai, wajah yang sudah memerah, pipa yang di petik, mampu membuat Jiang Cheng jadi sorotan malam ini juga. Seperti Diva pendatang baru yang tengah naik daun.

Malam ini, Jiang Cheng kehilangan sesuatu yang sangat  berharga.

Harga dirinya, sudah tidak ada lagi.
.
.
.
.
.

Bersambung
9 Oktober 2021

Clouds Recesses |XICHENG (BL) DROPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang