Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Eunha."
"Hmm?"
"Kenapa diam saja?"
"Tidak apa-apa."
Sinb mengangguk paham, lalu melanjutkan lamunannya.
"Eunha, aku ingin pergi ke taman, mau ikut?"
"Terserah."
"Ya sudah, ayo pergi sekarang."
"Hmmm."
Sedikit tidak nyaman dengan Eunha yang sekarang, karena dia begitu dingin kepadanya. Setiap balasan Eunha terasa berbeda dari biasanya, begitu pun sifat Eunha yang manja mendadak tidak ada.
"Kenapa?" tanya Sinb bernada dingin.
"Apanya?"
"Kenapa kau diam saja?"
"Tidak apa-apa."
Sinb memberhentikan langkahnya, membuat Eunha yang tak siap berhenti kontan menubruk punggungnya. Selesai dengan itu, Sinb berbalik untuk memastikan.
"Kenapa kau berhenti tanpa memberitahuku?" tanya Eunha sewot.
"Kita tidak jadi pergi ke taman," kata Sinb dingin.
"Kenapa?"
"Pulang saja."
"Kenapa?"
"Kau sakit, 'kan?"
Eunha menutup mulutnya rapat-rapat.
"Ya, kau sedang tidak enak badan sekarang. Kita akan pulang saja."
"Tidak," elak Eunha. "Kita harus pergi ke taman, Sinb."
"Pulang saja."
"Tapi kita bisa pergi, kok!"
Sinb mencekal lengan Eunha, menarik Eunha untuk kembali ke halte bus. Keduanya berada dalam keheningan lagi, lalu tiba-tiba Eunha menyandarkan kepalanya di bahu Sinb.
"Aku juga mau pintar seperti dirimu, Sinb. Tapi aku yang tidak bisa, harus bagaimana?"
"Kau bisa, Eunha. Kau hanya perlu melangkah beberapa tahap lagi."
"Aku sudah mencobanya, Sinb. Seperti mengerjakan tugas matematika, aku dengan mudah meniru rumus-rumus yang diberikan, tetapi jawabannya tidak ada dalam pilihan ganda, menyebalkan!"
Sinb terkekeh. "Keliru, matematika akan mendapatkan jawaban benar jika kau teliti."
Eunha mencebikan bibirnya. "Aku lapar~"
"Mau membeli apa?"
"Kita pergi ke toko roti saja, bagaimana?"
"Sebentar lagi bus akan datang, kita akan menepi di halte dekat toko roti."
