"Aku ke sini cuma mau ngambil cincin." Duta bisa melihat sebuah rencana yang terselubung di balik senyum Rindu. Karena itu dia menekankan lebih awal.
"Bukan berarti nggak mau masuk, dong. Cincinnya di dalam. Yuk!" Rindu mengedikkan kepala, lalu beranjak ke dalam lebih dulu, meski Duta tampak benar-benar tidak berminat untuk berlama-lama.
Tadinya Duta mengira dia akan dibawa ke dalam rumah, tahu-tahunya malah ke halaman samping. Duta disambut oleh ketiga teman Rindu. Mereka berbaris rapi seperti anak SD yang sedang periksa kuku sebelum masuk ke kelas.
Melihat aura-aura penjajah di wajah mereka, perasaan Duta jadi tidak enak.
"Mas Duta, kasihanilah aku ini. Cicilan mobilku masih panjang, malu banget kalau sampai disita," ujar Tasya sambil memasang tampang memelas dibuat-buat.
"Mas Duta, adikku pengin banget jadi dokter, sementara kedua orangtuaku tidak sanggup membiayainya. Karena itu aku banting tulang siang dan malam." Devi berucap begitu sambil menangkupkan kedua tangan di depan dada.
"Bro, aku punya banyak kucing. Mereka nggak mau makan nasi, harus Whiskas."
Usai mengucapkan kalimat itu, Beni langsung mendapatkan pelototan dari ketiga temannya. Bahkan, Devi yang berada tepat di sampingnya, refleks menginjak kaki cowok bertubuh ceking itu. Dari sekian banyak hal yang bisa dijadikan alasan, kenapa harus kucing?
"Maksud kalian ngomong itu ke aku, apa?" Duta menatap serius ketiga orang di depannya. "Sama sekali nggak ada hubungannya sama aku, kan?"
"Ta, kami butuh banget bantuan kamu." Rindu mengambil alih. "Kalau nggak, kami akan kehilangan semua yang udah kami perjuangkan selama ini."
"Lalu, aku harus prihatin gitu?" Duta masih berusaha bersikap bodo amat.
"Tuhan nggak mungkin salah menempatkan seseorang. Itulah mengapa kamu yang tiba-tiba ada di taman kemarin." Tatapan Rindu memohon dengan sangat.
"Kami yakin, kamu orangnya nggak tegaan," komentar Tasya.
"Kami melihat kamu seperti malaikat penolong kiriman Tuhan." Devi menambahkan.
"Kami—" Beni ingin ikut menyumbangkan suara, tapi Devi lebih sigap menyubit pinggangnya. Lebih baik jangan daripada aneh-aneh lagi. Kamerawan mereka itu memang jago mengambil gambar, tapi tidak untuk urusan menyusun kalimat.
"Aku—"
"Please ...." Mereka berempat kompak mencegat kalimat Duta.
Duta pun menghela napas panjang sambil berdecak samar. "Oke. Asal jangan lama-lama."
"Kita cuma bikin video ala-ala kejutan ulang tahun, kok, bukan sinetron ratusan episode." Beni berkomentar juga akhirnya.
Devi langsung menyikut perut cowok itu karena lagi-lagi omongannya keluar jalur.
Tasya buru-buru mengambil alih, sebelum Duta berubah pikiran. "Ya udah, supaya cepat, kamu langsung bersiap di posisi, ya." Dia menunjuk sofa dan menyuruh Rindu ke sana. "Ta, kita mulai dari sana," katanya lagi sambil menggamit lengan Duta dan menunjuk ujung sebuah tembok. Dia menggiring cowok bertubuh tegap itu ke sana sambil menjelaskan beberapa hal secara garis besar, singkat, dan dengan bahasa yang paling mudah dipahami.
Sesekali Duta terlihat manggut-manggut pertanda paham.
Setelah persiapan singkat dan dadakan itu dirasa cukup, pengambilan gambar pun dimulai. Tasya sebisa mungkin tidak teriak "cut" meski beberapa bagian kurang sesuai keinginannya. Dia berusaha menjaga mood Duta. Sebagai gantinya, cerewetnya beralih ke Beni, agar cowok itu lebih peka harus nge-shoot dari sudut mana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mendadak jadi Suami Youtuber
RomanceDuta bingung ketika tiba-tiba diadang seorang cewek yang minta dilamar. "Please, kamu harus lamar aku!" todongnya tanpa basa-basi. Duta pikir cewek itu gila. Dia ingin langsung pergi dan tidak mau ambil pusing. Namun, cewek gendut itu terus memohon...