5. I(N)B : PERGI

77 3 0
                                    


Apa yang lebih sakit dari hinaan dan makian?

Benar!

Kehilangan!

Hari ini, hari minggu dengan awan sedikit mendung kini aku berdiri, menatap sebuah makam yang bertabur bunga cantik dan wangi semerebak berhasil masuk kedalam indra penciuman.

Mamah Shani Indira Fadrin, nama mamah sudah terukir disebuah kayu yang ditancapkan kedalam tanah.

Ia telah pergi selamanya, meninggalkan aku dan Ayah didunia yang sudah tua ini. Mamah dinyatakan sudah pergi saat aku sedang bertanding karate.

Sakit memang, apalagi piala dan mendali yang aku janjikan untuk mamah ternyata hanya sia-sia dan percuma. Percuma karena mamah tidak bisa melihat aku bahagia karena berhasil mendapatkan hadiah khusus untuk mamah.

Bayangkan saja, aku seperti dibawa terbang keawan hingga tiba-tiba saja dijatuhkan begitu saja ketanah yang penuh dengan kerikil dan benda yang tajam.

Sakit!

Sakit sekali, rasanya masih tidak percaya bahwa mamah sudah pergi untuk selamanya.

Aku tidak tau bagaimana kedepannya? Apakah aku masih bisa bertahan, atau lebih baik ikut juga bersama mamah? Hanya dialah satu-satunya cinta pertamaku yang berhasil membuat anak perempuannya tidak bisa berpaling. Kasih sayang dan kelembutan darinya yang tidak bisa aku lupakan.

"Ayah mau pulang! Kamu mau pulang sama ayah atau sama Pak Lana?" Kata Ayah, ia menyentuh bahuku, seraya memegang tongkat kesayangannya seperti tokoh nasional jenderal Sudirman dulu.

Menoleh sejenak, menatap Ayah yang sepertinya sama dengan apa yang aku rasakan. Benar, Ayah juga menangis tadi, hanya saja ia berusaha tutupi dengan cara menggunakan kacamata hitamnya. Mungkin lebih baik aku pulang sendiri kali ini, memingat kondisi Ayah yang sepertinya tidak mau diganggu oleh siapapun.

Sebuah senyuman tipis berhasil aku tampilkan.

"Aku pulang sendiri, Pak Lana bareng Ayah aja ya." Balasku, hingga sebuah anggukan terlihat dari kepala Ayah.

"Kalo gitu Ayah pulang, dan kamu juga hati-hati ya Nanta pulangnya." Ucap Ayah, lalu pergi bersama Pak Lana.

Setelah menatap kepergian Ayah, kini pandanganku kembali ke makam mamah. Sebuah senyuman kecil terlihat, sampai tidak terasa, aku sudah berjongkok didekat makam mamah.

Aku usap kayu persegi yang sudah tertuliskan nama mamah tersebut

"Mah..."

"Adek mau cerita boleh nggak?"

"Adek baru aja dapet piala sama mendali loh! Pialanya warna emas, terus tulisannya juara satu kumite. Sedangkan medalinya juga warna Emas, tapi ada orang yang pake baju karate. Keren tau mah, bahkan adek aja nggak mau jual medalinya karena kelewat keren hehehe."

Sebuah kekeh kecil keluar, sampai tidak sadar bahwa setetes air mata sudah jatuh kepipiku.

"Tau nggak mah?! Hadiah lomba adek buat siapa?"

"Ya pastinya buat mamah hiks!"

"Alasan kenapa hadiah lomba Karate kemarin buat mamah karena adek mau buktiin, kalo adek bisa, adek berhasil ngelawan Musuh-musuh dilomba dan juga bisa jagain mamah."

Aku tersenyum tipis. "Tapi, waktu adek mau nunjukin piala dan medali ke mamah. Ternyata mamah udah pergi, udah nggak ada dan nggak akan balik lagi ke rumah."

"Kenapa ya mah?!"

"Kenapa mamah pergi?!"

"Kenapa ninggalin adek?!"

I'M (NOT) BOY Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang