6. Sedekat Itu

715 116 28
                                    

Isela ... bahagia.

Sejak keluar dari gerbang kekaisaran, bibirnya tidak bisa berhenti tersenyum. Mata sembabnya yang menyipit terlihat menggelikan karena selalu tersenyum. Kekesalannya menguap bagai buih. Semua itu karena lelaki tampan bermata merah yang duduk di belakangnya. Satu tangan Lakhzlerion memacu tali kekang kuda, sedangkan tangan lainnya ... dada Isela berdebar-debar dengan pipi merona.

Kalau tidak merasakan satu tangan Lakhzlerion di perutnya, memeluknya dari belakang---menjaganya---Isela pasti mengira jika ini mimpi atau mungkin ia pasti berhalusinasi. Tapi, ini nyata.

Lakhzlerion bersamanya, di dekatnya.

Akhirnya, ia bisa berduaan dengan tunangannya dalam rentan waktu yang lama. Tidak ada Denada atau siapapun. Hanya ada mereka berdua. Kenyataan ini membuat Isela sangat bahagia.

Sesederhana itu kebahagiaannya.

Isela mengusap punggung tangan Lakhzlerion di perutnya dengan ekspresi lembut dan malu-malu. Tidak menyadari jika tubuh Lakhzlerion menegang karena sentuhannya. Menoleh ke samping, senyuman Isela semakin lebar dan manis. Baginya, Lakhzlerion selalu rupawan dalam ekspresi apa pun.

"Apa kataku," katanya puas.

"Huh?" Lakhzlerion mengernyit tanpa ikut menoleh. Dadanya berdebar saat merasakan wajah Isela berada di dekat pipinya. Sekali saja menoleh, bibirnya tidak akan suci lagi. Sepoi angin sore menerbangkan harum tubuh Isela yang lembut dan manis.

Entah kenapa, Lakhzlerion menyukainya.

"Setelah malam itu, kita akan sedekat itu dan sekarang ... kita sudah sedekat ini."

Malam itu---malam pertunangan mereka. Lakhzlerion mengartikan dalam hati.

"Ini salah satu buktinya," lanjut Isela. Mata kelabunya menatap wajah rupawan Lakhzlerion dengan dada berdebar. Namun, keningnya berkerut halus saat melihat ujung telinga Lakhzlerion memerah. Dari jarak sedekat ini, ia bisa melihatnya dengan jelas.

Seketika matanya berkilat cemas. "Apakah kau sakit, Lakhzlerion?"

"Tidak." Isela mengernyit dalam saat mendengar suara Lakhzlerion yang tiba-tiba serak. "Sebaiknya, kita berhenti dulu. Kau butuh istirahat, Lakhzlerion."

Lakhzlerion bergeming.

"Berhenti dulu, Lakhzlerion."

"Lakhzlerion! Kubilang 'berhenti dulu'!" Isela kesal saat Lakhzlerion tidak meresponsnya sama sekali.

"Diam, Nona Dielle."

"Isela! Panggil 'Isela'!"

"Diam, Isela," geram Lakhzlerion, nyaris frustasi. Tidakkah Isela sadar jika napas hangat perempuan itu di rahangnya sangat mengganggu?

Isela mengerucutkan bibir lucu. Saat kuda berpacu semakin cepat, matanya terpejam rapat.

"Takut, eh?" cibir Lakhzlerion. Saat merasakan punggung tangannya dicubit pelan. Sepertinya, Isela tidak sadar jika melakukannya. "Gerakan refleks yang ... manis."

"Huh? Kau mengatakan sesuatu?" Mata Isela terbuka dengan kening berkerut saat Lakhzlerion mengatakan sesuatu dengan nada berbisik.

Lakhzlerion berdehem. "Tidak. Kita sampai," katanya lega saat sampai di pasar Zerion.

Isela cemberut. Merasa kesal dengan waktu yang berjalan cepat saat mereka berduaan untuk pertama kalinya. Isela merentang tangan ke samping dengan manja saat Lakhzlerion sudah turun lebih dulu.

"Manja," cibir Lakhzlerion. Namun, tetap membantu Isela turun dari kuda dengan cara memeluknya.

Dari jarak sedekat ini, dada Lakhzlerion berdebar-debar. Ia semakin menyadari jika tunangannya itu cantik. Terlebih, dengan semburat merah di wajah yang tercipta karenanya. Sangat cantik. Bahkan saat kaki Isela sudah menginjak tanah, Lakhzlerion masih memeluknya dengan kepala menunduk---mengingat tinggi Isela hanya sebatas dadanya---agar bisa menatap mata kelabu ... yang entah sejak kapan menjadi kesukaannya itu lekat.

My Mr. VIVOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang