20. Ambisi

317 36 24
                                    

Begitu menginjak gelap, sang rembulan telah resmi menggantikan tugas sang surya. Tampak berkilau bersanding dengan sang bintang yang kadangkala tak setia menemani. Begitu indah sekali. Keindahannya terpantul sepanjang pantai Zerion terhampar.

Isela telah bersantai di dekat balkon kamar -yang akan menjadi saksi bisu dirinya memadu kasih dengan orang terkasih- usai menyiapkan segala sesuatunya untuk menyenangkan Lakhzlerion.

Sejak tadi ia melihat keindahan malam sambil menanti kehadiran Lakhzlerion. Tetapi yang dinanti tak kunjung juga menampakkan diri. Isela mengeluh. Sampai kapan ia harus menunggu? Apakah penantiannya akan kembali berujung pada kekecewaan?

"Lakhzlerion ... kau di mana?"

Sedangkan yang dinanti Isela tengah memacu kudanya secepat mungkin agar segera sampai ke pesisir pantai Zerion, mengingat jarak dari kediaman Isela menuju pantai indah tersebut memakan waktu yang tak sebentar.

Perasaannya semakin tak karuan saja. Ia sangat mengkhawatirkan tunangannya tersebut.

Ia harus segera sampai sebelum terjadi sesuatu yang tak diinginkan pada Isela. Mengingat Isela, lecutan pada kudanya semakin kuat saja.

Ada banyak hal yang membuat kepalanya terasa penuh. Namun segalanya bisa ia urus nanti.

Isela ... kau harus baik-baik saja. Tunggu aku.

Isela menghela napas panjang. Mata kelabunya mengerjap sendu dengan bibir mengerucut sedih. Namun tetiba matanya menyipit saat melihat sesuatu di kejauhan, di tengah pantai Zerion, begitu menarik perhatiannya.

Ia mengingat jelas wajah cantik sosok itu dalam ingatannya. Sosok itu begitu bersinar dan mempesona di bawah sinar sang rembulan. Melambaikan tangan ke arahnya dengan senyuman cantik yang begitu dikenalnya meski hanya melihatnya dalam sebuah lukisan masa lalu.

"Mama ...," lirihnya penuh kerinduan.

Isela, kemarilah, Sayang. Mendekatlah pada Mama. Mama sangat merindukanmu, Nak.

Kurang lebih itulah yang Isela tangkap dari gerak bibir sang ibu. "Mama ...!" Ia pun berlari keluar penginapan untuk menemui ibunya yang tengah tersenyum.

Isela ingin sekali mendekapnya erat dan ingin ikut kemanapun ibunya pergi.

Malam itu, kawasan pantai Zerion tampak ramai seperti biasanya. Entah itu rakyat Zerion atau turis asing yang berkunjung, Isela tak peduli. Kakinya ia bawa berlari menuju sang ibu yang masih setia menatapnya lembut nan penuh cinta.

Tuhan mengetahuinya ... betapa Isela sangat merindukan ibunya.

"Lepaskan aku!" Ia berontak saat beberapa orang tiba-tiba menyergap dan memegangi masing-masing kedua tangannya. "Lepaskan aku! Aku ingin bertemu Mama! Beraninya kalian menahanku menemui ibuku sendiri!"

"Jangan ke sana, Lady. Bahaya."

"Tidak ada Mama Anda di sana, Lady."

"Lady, tenanglah."

"Sepertinya hantu penunggu pantai mengganggu Lady Isela."

"Sepertinya ya! Konon kabarnya, iblis itu tak pernah gagal mengincar mangsanya."

"Tetapi saya tak melihat apa pun di sana."

"Itu hanya cerita bualan untuk menakuti anak-anak agar tak keluyuran saat malam hari."

....

"LEPASKAN!" teriak Isela murka. Entah mendapat kekuatan dari mana, ia mampu mendorong orang-orang berbadan besar yang menahannya pergi dengan mudah sebelum berlari ke arah pantai Zerion untuk menghampiri ibunya. "Mama ... aku datang ...."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 03, 2024 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

My Mr. VIVOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang