Diikutsertakan dalam Writing Challenge LFLC sebagai syarat kelulusan Writing Class LFLC Batch 1.
Cerita ini murni imajinasi penulis. Seluruh kejadian, kasus, nama desa dalam cerita ini hanya fiktif belaka.
Tulisan ini jauh dari kata sempurna. Jika ada kesalahan jangan sungkan untuk dikoreksi. Komen-komen ya gaes~
***
Musim semi, masa yang paling dinanti setelah es menutupi sebagian wajah Bumi selama berbulan-bulan. Udara mulai menghangat, burung-burung kembali berkicau dan bunga-bunga tumbuh bermekaran. Bagi segelintir orang—termasuk Hyunji, menghabiskan waktu menikmati musim semi adalah hal paling menyenangkan yang dinanti-nanti sepanjang tahun. Hyunji dan sang ayah, Hoseok, biasa menghabiskan hari di musim semi bersama-sama. Menikmati makan siang di bawah payung pepohonan sakura yang bermekaran seolah menjadi tradisi sejak lama.
Kebiasaan tersebut dimulai sejak Hoseok memulai hubungan dengan Haesoo, mendiang istrinya. Haesoo sangat menyukai bunga sakura. Pernikahannya dengan Hoseok tak luput dari dekorasi bunga tersebut. Setelah hidup bersama pun berbagai ornamen bertema sakura menghiasi hampir setiap sudut rumah. Juga saat upacara pemakaman, Hoseok tak lupa menabur bunga kesukaan sang istri di atas makamnya—Hyunji baru berusia dua tahun kala ibunya meninggal akibat kanker serviks stadium akut. Gadis kecil itu hanya bisa menangis ditinggal pergi sang ibu untuk selamanya.
Hari ini, Hoseok bersama putri semata wayangnya, duduk berdua di atas alas menutupi rumput lalu mulai menata kotak makan dan peralatan makan lainnya agar terlihat rapi. Meski hanya berdua, mereka selalu menyiapkan porsi lebih. Bukan karena rakus melainkan sengaja menyiapkan porsi khusus untuk mendiang Haesoo.
"Ayah, apa Ibu akan senang dengan ini?" Hyunji muda berusia 17 tahun bertanya pada sang ayah.
"Tentu saja. Kita selalu melakukan ini selama bertahun-tahun. Ibumu pasti senang!" ujar Hoseok penuh bangga.
"Bukan itu, Ayah. Maksudku, telur gulungnya terasa asin saat kucicip tadi," sanggah sang putri sambil menunjuk kotak berisi beberapa telur gulung yang sudah dipotong-potong.
"Lebih baik cita rasa yang kuat daripada hambar, Hyunji," bela Hoseok.
"Aku pernah dengar, katanya kalau seseorang masak terlalu asin artinya orang itu ingin menikah," Hyunji berkata gamblang, "Ayah mau menikah lagi?"
"Heol! Dari mana kau mendengarnya?"
"Orang-orang tua sering mengatakan itu."
Seluruh makanan sudah tertata rapi. Hoseok mengoper sebagian lauk ke kotak makan Hyunji lalu untuknya. "Sudahlah, ayo kita makan."
"Selamat makan!" ucap keduanya serentak.
"Aigoo! Ini benar-benar asin!" Hoseok memaki dalam hati. Lidahnya sudah terlanjur membela rasa asin di awal tadi. Melepeh telur gulung yang dibuatnya akan terkesan seperti mengkhianati diri sendiri. "Apa aku benar-benar ingin menikah?"
Setidaknya itulah masa-masa indah yang dialami mereka berdua, sebelum Hoseok meregang nyawa tepat di hadapan Hyunji.
"Ayah!!!" teriak Hyunji bukan kepalang tatkala bumper mobil hitam menghantam Hoseok saat menyeberang jalan sambil membawa bunga untuk sang putri yang baru saja lulus SMA. Hari cerah berubah gelap, sinar di wajah Hyunji pun sirna. Harusnya ini jadi hari terbaik, tetapi sebaliknya.
Sang ayah tergeletak tak berdaya di tengah jalan. Bunga-bunga pun berhamburan. Hyunji menghampiri Hoseok yang tak mampu bergerak. Mobil yang menabrak Hoseok pun kabur.
"Ayah!" Hyunji berlutut memeluk Hoseok. "Ayah, bertahanlah! Aku akan telepon ambulans!" katanya dengan panik.
Hyunji mengetik angka lalu melakukan panggilan. "H-halo," suaranya bergetar, "ayahku kecelakaan. Di persimpangan jalan dekat SMA Bora."
"Ya. Iya ... Pokoknya cepat datang!" Hyunji tidak sanggup lagi.
"Hyunji ...." Hoseok berujar letih.
"Ayah ...." Hyunji berlinang air mata sambil memangku sang ayah.
"Putriku ... kau sudah besar sekarang." Hoseok mengusap air mata putrinya dengan tangan penuh darah. "Kau bisa ke kamar mandi sendiri saat terbangun tengah malam, kan?"
"Jangan bilang begitu, Ayah."
"Hyunji ...." Hoseok tersenyum sebisa mungkin. "Jangan lupakan hari di musim semi. Saat kita bersama ... kau harus selalu menghidupkannya sesibuk apa pun kau nanti."
"Diamlah, Ayah! Jangan bicara terus!"
Hoseok merasa miris dimarahi dalam kondisi seperti ini.
"Hyunji, maaf jika Ayah membuatmu kesepian." Hoseok menitikan air mata di tengah senyumnya.
"Apa maksud Ayah? Jangan bicara macam-macam!"
"Hyunji ...." Hoseok memanggil putrinya dengan lirih.
"Cukup, Ayah! Diamlah, lebih baik simpan tenagamu. Ambulans akan segera datang." Hyunji menggenggam tangan Hoseok sekuat tenaga.
"Baiklah ... Hyunji, aku senang bisa menghabiskan waktu terakhirku bersamamu."
Hyunji tidak menimpali. Ia sibuk menahan air mata yang sudah membendung.
Setelah kalimat itu tidak ada lagi kata-kata yang diucapkan Hoseok. Itu adalah terakhir kalinya dia berkata sebelum ajal menjemput.
Di persimpangan jalan dekat SMA, sore menjelang senja. Gadis muda menangis pilu sambil memeluk erat jasad ayahnya yang sudah tak bernyawa. Sang ayah benar-benar membuatnya kesepian, setidaknya ia sudah minta maaf sebelumnya. Setelahnya, Hyunji harus melewati musim-musim semi dengan tiga porsi makan siang, dua di antaranya tak bertuan. Dengan perasaan penuh kesepian.[]
***
Kasih aku bintang guys agar dapat menerangiku di sepanjang malam :) silakan komen, kasih pendapat kalian tentang cerita ini, semoga menarik bagi kalian
KAMU SEDANG MEMBACA
BLOODY BLOSSOM
FanfictionKasus-kasus bermekaran di musim semi dan Hyunji tidak bisa menikmati keindahan musim berbunga itu seperti mandat Hoseok, sang ayah. Namun, kasus kali ini justru menggiringnya mengungkap insiden yang membuat sang ayah gugur. Bersama para rekan satu t...