Derap langkah pria tegak berseragam terdengar mengetuk-ngetuk lantai, di lantai paling atas gedung. Berbagai lencana tersemat di pundak dan dada menegaskan pangkatnya. Topi berlogo kepolisian menutupi surai beraksen putih yang disamarkan cat hitam. Pria berpangkat kepala polisi—Inspektur Kim Seokjin—berjalan cepat menuju ruangan dibuntuti seorang bawahan.
"Kudengar kemarin pagi ada kejadian serupa dengan kasus beberapa minggu lalu," ujarnya. "Bagaimana kau bisa menyebut dirimu sebagai Kapten dengan kemampuan payahmu? Mengorganisir kelompok kecil saja tidak becus."
"Maaf, Inspektur." Langkah Jungkook tidak berhenti sedetik pun.
"Tekan mereka untuk bekerja dengan benar. Tidak boleh ada pemberitaan bahwa kinerja kita lemah." Seokjin sudah meraih gagang pintu, langkahnya terhenti. Dia berbalik badan menatap sinis bawahannya yang tidak berani bertemu mata. "Kasus tabrak lari saja tidak bisa dipecahkan, bagaimana jika diberi kasus besar?"
"Jika tidak ada perkembangan selama dua minggu ke depan, kasus ini akan kualihkan ke tim lain. Dan timmu sebaiknya dipecah saja." Seokjin membanting pintu di depan muka Jungkook.
"Ah ...." Jungkook menahan kesal. Lagi-lagi dia yang jadi pelampiasan atas ketidakcakapan bawahannya. Sudah menjadi resiko seorang pimpinan untuk ditegur atasan terlebih dahulu. Memang sudah tanggung jawabnya mengarahkan tim untuk bekerja dengan baik dan maksimal.
Jungkook turun ke lantai lima, tempat ruang kerjanya berada. Begitu masuk, dia mengambil gelas kertas. Bubuk kopi instan dituang kemudian diguyur air panas dari dispenser. Ia mengaduknya perlahan sambil berjalan ke arah jendela di samping meja kerja. Kopi panas disesap sedikit, Jungkook mengembuskan napas bernada putus asa. Akhir-akhir ini dia sering mendapat ancaman turun pangkat dari Inspektur. Tentu saja, bukan hal yang bisa diterima dengan lapang dada. Posisinya saat ini tidak semudah dan seindah melihat kuntum bermekaran pada musim semi—melakukan hal itu juga sulit. Jungkook meraihnya berkat hasil kerja keras bertahun-tahun, belasan tahun. Lagipula, apa kata istrinya nanti kalau tiba-tiba ia turun pangkat? Kebanggan istri jelita dan jabang bayinya harus tetap bersinar dan menjadi kebanggaan keluarga.
Tidak sabar mendengar kabar hasil kerja timnya, Jungkook memutuskan menekan layar. Ponsel di telinga mendengungkan nada panggilan terhubung.
"Detektif Bae ...."
***
"Ya! Aku baru sampai di kantor!" Hyunji tidak senang mendapat telepon dari Jungkook pagi-pagi begini. "Aku hendak pergi menemui keluarga korban. Tenang saja, aku sedang bekerja! Jangan pikir aku hanya makan gaji buta!"
Hyunji memang tidak pernah bersikap sopan kepada sang kapten. Bukan tidak bisa, hanya tidak ingin. Pria itu dianggap menyebalkan. Bisanya menggerutu, marah-marah, tidak sabaran. Hyunji tahu pekerjaannya berpacu dengan waktu, tapi dia juga tidak perlu ditekan terus-menerus. Dia juga tahu diri untuk menyelesaikan pekerjaan secepat mungkin. Karena bergerak terlambat sedikit saja, bukan tidak mungkin akan menimbulkan resiko besar yang tidak bisa ditebak. Pergerakan penjahat yang sedang dikejar bisa tidak terbaca. Tindakan nekat kemungkinan bisa terjadi.
"Hyunji!" Taehyung menyerukan namanya tepat saat Hyunji membuka pintu mobilnya yang terparkir di halaman sejak kemarin. "Kau pergi sendiri?"
Dia peka dengan maksud Taehyung. Mereka memang sudah seharusnya bersama. "Ayo, cepat!" Kali ini Taehyung yang menumpang di kendaraan milik Hyunji.
"Kenapa tampangmu buruk pagi-pagi begini? Ada apa lagi?"
"Kapten Jeon. Pagi-pagi sudah menuntut ini-itu. Pekerjaan saja belum dimulai."
"Sudahlah. Dari dulu dia memang seperti itu. Menyebalkan." Taehyung lihat ekspresi kesal Hyunji tidak mereda. "Aku saja yang mengemudi. Kau perlu menghemat energi."
![](https://img.wattpad.com/cover/288708108-288-k83341.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
BLOODY BLOSSOM
FanfictionKasus-kasus bermekaran di musim semi dan Hyunji tidak bisa menikmati keindahan musim berbunga itu seperti mandat Hoseok, sang ayah. Namun, kasus kali ini justru menggiringnya mengungkap insiden yang membuat sang ayah gugur. Bersama para rekan satu t...