"Terima kasih sudah datang." Nyonya Lee menyambut Hyunji dan Taehyung di apartemen sederhananya. Kendati matanya sembab dan hidung terus menarik lendir, serangkai senyum tetap tergambar tulus pada bibirnya. Mereka bertiga duduk bersila mengelilingi meja persegi dekat jendela yang tirainya terbuka lebar.
Sang putri yang juga saksi—Lee Jieun, datang membawa tiga cangkir teh untuk para tamu dan juga sang ibu. Gadis berparas manis itu hidungnya terlihat merah, bisa dipastikan efek kehilangan mendiang terlebih dirinya menjadi saksi atas peristiwa yang merenggut nyawa ayahnya itu.
"Maaf merepotkan." Hyunji merasa sungkan tatkala Jieun memindahkan cangkir dari nampan ke atas meja.
"Justru kami yang merepotkan kalian," balas Nyonya Lee mengukir senyum bersahaja khas orang tua.
Taehyung mengambil cangkir kaca yang tersuguh di hadapannya, cangkir itu diangkat sejajar dengan ujung hidung, dihirupnya aroma melati dari teh tersebut. Taehyung menyesap sedikit lalu menengok ke arah jendela. Langit tampak cerah, ini masih musim semi harusnya semua orang berhati riang namun tidak dengan kedua orang di seberangnya juga Hyunji, mereka tampak redup seperti awan kelabu.
"Kami turut berduka atas insiden yang menimpa suami Anda, Nyonya," Hyunji membuka kata, "pasti sangat sulit untuk kalian." Ia sangat mengerti dengan perasaan mereka, pasalnya Hyunji juga pernah tertimpa musibah yang sama. Kendati telah terjadi lama, rasa sakitnya masih tertinggal hingga sekarang. Luka itu tidak pernah sirna.
Nyonya Lee sedikit menunduk, menyembunyikan ekspresi sedih mengingat kematian sang kepala keluarga dengan cara tragis. Batinnya terasa sangat sakit tiap kali membahas kejadian tewasnya mendiang, namun tidak ada jalan lain, kepergian sang suami harus ditebus dengan adil. Begitu pun Jieun, meski merasa tidak sanggup untuk membicarakan apa yang disaksikan mata kepalanya pada malam itu, dirinya tetap harus bicara mengungkap segala detail dengan jelas berharap agar si pelaku cepat tertangkap.
Hyunji memandangi sepasang ibu–anak itu bergantian, perasaan sesaknya harus dikesampingkan demi menegakkan keadilan. Ia tetap mengedepankan kerasionalan daripada urusan perasaan. Bisa saja Hyunji ikut menangis bersama kedua anggota keluarga Lee dan berbagi kisah pilu, tapi jangan harap jika kasus ini cepat selesai.
"Nona Jieun." Hyunji langsung tertuju pada sang saksi mata. "Bisa ceritakan kejadian malam itu?"
Jieun membalas tatapan Hyunji dengan ragu, mulutnya pun terasa bergetar untuk bicara. "Malam itu ...." Jieun menarik napas dalam-dalam kembali mengingat rentetan kejadian. "Aku tengah berada di depan gedung apartemen, sedang menelepon teman. Kulihat ayahku berjalan di seberang, baru pulang dari tempat kerja. Dia selalu pulang kerja sekitar pukul 10 malam."
Jieun menghentikan ucapannya sejenak, matanya berkaca-kaca.
"Aku ingat betul, kulihat persis, dia menyeberang jalan sambil memandangiku dengan senyum lebar. Lalu entah mengapa— kejadian berlangsung begitu cepat. Tidak tahu bagaimana awalnya, tapi mobil itu tiba-tiba sudah membuat tubuh ayahku terhempas." Jieun mengernyitkan dahi, pun Hyunji yang menyimak, sementara tangan Taehyung terlipat di dada.
"Waktu tabrakan pertama, ayahmu masih terlihat bergerak. Apa dia sempat berteriak atau memanggilmu?" Memori Hyunji kembali pada masa tiga belas tahun silam.
Jieun bergeleng. "Tidak ada suara apa pun selain bunyi hantaman ketika ayahku ditabrak dengan keras. Aku menyesal tidak segera menolongnya saat itu, harusnya aku membawa tubuh ayahku sebelum pengemudi itu kembali dan melindas tubuh ayah—" Jieun tidak kuasa menahan tangis. "Orang macam apa yang tega menabrak seseorang berkali-kali? Kenapa dia tidak pergi begitu saja dan membiarkan ayahku hidup. Setidaknya dia masih punya kesempatan saat tabrakan pertama. Pengemudi itu tidak perlu mengulang perbuatannya berulang kali."
KAMU SEDANG MEMBACA
BLOODY BLOSSOM
FanfictionKasus-kasus bermekaran di musim semi dan Hyunji tidak bisa menikmati keindahan musim berbunga itu seperti mandat Hoseok, sang ayah. Namun, kasus kali ini justru menggiringnya mengungkap insiden yang membuat sang ayah gugur. Bersama para rekan satu t...