Bab 10 Ajakan

448 53 3
                                    

*Happy Reading*

Jadi, Ina yang ketiga? Ya ampun ....

Ina pun refleks mengusap wajahnya, saat menyadari kenyataan itu. Tidak ingin percaya dengan pendengarannya saat ini.

Ya, Tuhan .... kenapa Ina merasa jadi terjebak jerat pria doyan kawin, ya?

Lah, kalau begitu apa bedanya Pak Sean dan Pak Joko? Meski beda di jumlah Istri, tetap saja mereka intinya doyan kawin iya, kan?

Duh, kenapa Ina harus selalu berurusan dengan pria hidung belang, sih?

Kek gak ada cowok single baik-baik aja di dunia ini? Kenapa pula harus sama cowok yang doyan kawin?

Ugh ... rasanya Ina mulai kesal dengan keadaan.

"Jadi Pak Sean sudah pernah menikah dua kali?" Meski begitu, Ina pun tak membuang kesempatan, untuk mengintrogasi Mbok Darmi yang sepertinya memang tahu semua hal tentang keluarga ini.

"Tepatnya terpaksa poligami, soalnya Papinya Non Rara meminta hal itu sebelum meninggal."

Hah?! Permintaan terakhir macam apa itu? Aneh banget!

"Kenapa begitu, Bi? Memangnya--"

"Kamu sedang apa?"

Degh!

Belum sempat Ina melanjutkan introgasinya, sebuah suara berat menginterupsi Ina. Membuat gadis itu sontak menoleh, dan ...

Loh? Itu kan, Pak Sean?

Kenapa ada di sini? Eh, maksudnya bukannya semalam Mbok Darmi bilang dia keluar kota, kenapa sekarang?

"Sekarang malah bengong. Hey?! Kamu dengar saya?" Tak segera mendapat jawaban, Sean pun kembali bertanya, sambil menjentikkan jari beberapa kali kehadapan Ina.

Gadis itu pun lalu mengerjap kaget dan langsung gelagapan saat menyadari kini posisi mereka sangat dekat.

"Masih pagi sudah melamun aja." Sean pun mendengkus pelan melihat reaksi Ina.

"Sa-saya bukan me-melamun, Pak. Ta-tapi cuma kaget aja lihat Bapak," jawab Ina terbata, namun dengan jujur menyuarakan isi hatinya.

"Kenapa kaget melihat saya? Ini kan Rumah saya. Jadi, wajar dong kalau saya ada di sini?"

Ya, memang. Itu benar adanya. Cuma ....

"Ta-tapi b-bukannya Bapak se-sedang keluar ko-kota, ya?" jelas Ina lagi, masih dengan suara terbata.

Entah kenapa? Jantung Ina jadi deg-degan dekat dengan pria ini.

"Saya memang keluar kota kemarin."

Nah, kan? Apa Ina bilang!

"Tapi tidak menginap."

Eh?

"Saya langsung pulang setelah urusan di sana selesai. Karena masih banyak yang harus saya kerjakan di sini."

Oh ... begitu. Ina pun hanya berani bergumam dalam hati. Setelah itu, memilih menundukkan wajah menghindari tatapan Sean yang sangat tajam sekali.

Perasaan Ina gak punya salah apa-apa. Kenapa Ina ditatap seperti itu, sih? Kan, jantung Ina makin dag dig dug jadinya.

"Termasuk pernikahan kita."

Secepat kilat wajah Ina terangkat, karena terkejut dengan ucapan Sean barusan.

Apa katanya tadi? Pernikahan kita? Ina gak salah dengar, kan?

Ina sebenarnya ingin sekali mengkonfirmasi hal itu sekali lagi, agar jelas maksudnya, dan memastikan jika pendengarannya masih normal.

Bukan yang Pertama (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang