Bab 13 Mall

437 47 0
                                    

*Happy Reading*

"I-ini apa?" tanya Ina dengan ragu, saat akhirnya meraih dan membuka kotak berwarna merah, yang tadi Sean lemparkan dengan pelan ke pangkuannya.

Isinya liontin indah sekali. Ina sampai menelan salivanya kasar saat melihat liontin tersebut.

Sebab, selama 20 tahun dia hidup dan bernapas di dunia. Inilah kali pertama dia melihat langsung perhiasan mahal, yang lebih berkilau dari perhiasan yang biasa di pajang toko emas depan wartegnya dulu.

Ini, bandulnya pasti berlian, iya kan? Duh, indah banget, sih? Ina jadi pengen segera--

"Hadiah untuk Mama."

Eh? Oh, buat Nyonya Sulis ternyata. Seketika Ina pun merasa kecewa, karena sudah berharap tinggi saat melihat perhiasan di tangannya ini.

Ina yang bodoh. Siapa dia, coba? Sampai Sean mau repot-repot memberikan perhiasan semahal ini untuknya.

Ina pun langsung menutup kotak itu dengan berat hati, namun tetap memegangnya dalam pangkuan.

"Mama besok ulang tahun. Makanya saya pesan itu khusus untuk hadiah ulang tahunnya," jelas Sean lagi. Yang kali ini tak Ina tanggapi dengan komentar apapun.

Bukan Ina tak mau perduli, hanya saja ... Ina terlanjur kecewa. Kecewa pada dirinya sendiri yang terlalu berharap tepatnya.

"Bagaimana menurut kamu? Bagus, tidak?" tanya Sean lagi, meminta pendapat dengan santai. Tanpa memperdulikan wajah Ina yang berubah sendu.

Bukan salah Sean. Ina yang terlalu percaya diri dari awal. Menyangka Sean membelikan liontin itu untuk dirinya.

"Bagus," jawab Ina pelan tanpa minat.

"Hanya bagus? Tidak ada kesan apapun lagi?" Sean ingin kepastian.

Ina mendesah berat, sebelum menyodorkan kembali kotak itu pada Sean.

"Ya ... mau jawaban apa lagi? Saya kan belum pernah punya perhiasan sebelum ini. Jangankan punya, lihat aja palingan cuma dari toko emas, yang ada depan warteg, tempat saya bekerja dulu. Jadi saya gak bisa nilai apapun lagi selain kata bagus," jelas Ina dengan lugas, sukses membungkam mulut Sean akhirnya.

Bukan Ina ingin curhat. Tapi Ina cuma jujur saja pada keadaan dirinya. Tidak salah, kan?

Pria itu lalu menerima kotak itu kembali, kemudian menaruhnya di dasboard mobil.

Setelah itu, tidak ada percakapan apapun lagi dari kedua insan itu. Sepanjang mobil melaju sedang di jalan raya, hanya hening yang menemani.

Kali ini Ina tak banyak tanya. Pasrah kemana pun akan di bawa Sean. Karena dia percaya, Sean pasti tak sejahat dalam bayangannya.

Pria itu memang galak. Tapi tidak jahat, kok. Buktinya, dia sangat menyayangi dan menghormati ibunya.

Nah, mana ada coba penjahat yang seperti itu. Jadi, Ina pasrah saja sekarang.

Bahkan saat kali ini mobil Sean kembali belok ke gedung tinggi pun, Ina masih tak berkomentar apapun lagi.

"Ayo, turun!" titah Sean kemudian. Setelah memarkirkan mobilnya dengan apik.

Ina menoleh ke luar jendela sejenak, namun masih tak berani buka suara lagi.

"Ini Mall, Ina. Bukan Hotel." Sean berkata seolah tahu apa yang Ina pikirkan.

"Di dalam juga kita gak akan ketemu mucikari, apalagi om-om hidung belang seperti yang kamu pikirkan, karena sekali lagi saya tegaskan. Saya tidak ada niat menjual kamu." Sean menambahkan, seraya memberi Ina keyakinan.

Bukan yang Pertama (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang