*Happy Reading*
Sean kacau!
Sean kalut!
Sean pilu!
Saat akhirnya dokter menyatakan, jika Mamanya tidak bisa di selamatkan, dan sudah dinyatakan meninggal dunia.
Sean bahkan meraung tanpa tahu malu di depan semua orang, dan menangis pilu tanpa perduli apapun.
Rasanya, separuh jiwanya ikut mati dengan kepergian sang Mama. Hatinya patah, jiwanya gelisah mengetahui sang Mama tak akan bisa menemaninya lagi.
Benar kata orang, kematian orang tua, adalah patah hati terbesar untuk seorang anak. Karena orang tua adalah cinta pertama semua anak.
Bukankah, cinta pertama itu tak akan pernah tergantikan?
Karenanya, saat ini Sean merasa hidupnya hancur sehancur-hancurnya. Bahkan, rasanya lebih hancur dari kehilangan hak asuh Keandra, juga kehilangan Audy, istri kesayangannya di masa lalu.
Bumi yang di pijaknya terasa goyah, dan seluruh tulang seakan ikut terenggut dari tubuhnya.
Mama! Sean harus bagaimana menjalani hidup sekarang? Dan kemana harus mengadu jika mulai lelah?
Mama! Kenapa Mama meninggalkan Sean secepat ini? Sean belum bisa membuat Mama bangga dan belum puas membahagiakan Mama.
Mama! Sean sendiri. Sean sebatang kara, dan .... Sean harus bagaimana sekarang, Mah!
"Kak, ikhlaskan. Mungkin ini yang terbaik untuk Mama."
Melihat kondisi kacau Sean. Rara yang baik hati pun berusaha menghibur, meski tak bisa memberikan pelukan sebagai mediasi penenang.
Ada Ken dan Ina yang harus dia jaga hatinya. Juga, mereka kini bukan siapa-siapa yang mengharuskan mereka bisa dekat.
Mereka memang orang tua kandung Keandra. Tapi hanya itu saja. Selebihnya, mereka sudah punya hidup masing-masing.
Sean tak menggubris ucapan penenang dari Rara, dia terus menangis pilu, seraya meremas rambutnya dengan keras.
Sungguh! Sean ingin menolak percaya pada kenyataan ini. Karena dia memang belum sanggup kehilangan sang Mama.
Apalagi, selama ini hanya Mama yang dia miliki. Wanita tegar yang tak pernah membiarkan Sean kekurangan apapun, meski tak memiliki ayah.
Mamanya adalah seorang single parent yang luar biasa.
Itulah kenapa, kehilangannya adalah kehancuran buat Sean.
"Bro! Saya turut berduka." Kali ini giliran Ken yang mengucap bela sungkawa. Seraya menepuk pundak pria yang biasanya terlihat arogan itu.
Ken juga punya hubungan sangat baik dengan sang Bunda. Meski Ken masih memiliki Daddy, tapi dia memang lebih dekat dengan Bunda sejak dulu.
Karenanya, Ken seperti bisa merasakan kesedihan Sean. Sebab dia membayangkan di posisi pria itu saat ini.
Itu pasti tidak mudah.
Sean tidak membalas satu pun ucapan bela sungkawa pasangan itu. Dia hanya mengangguk pelan, karena semua kata seperti tercekat dalam tenggorokannya. Rasanya sakit sekali.
"Sementara lo boleh tenangin diri dulu, biar kami yang urus segala kebutuhan untuk pemakaman," ucap Ken lagi seraya memberi penawaran dengan baik hati.
Namun, Sean tiba-tiba menggeleng cepat. Seakan tak setuju dengan usulan Ken.
"Saya akan urus semuanya sendiri," ucapnya kemudian. Dengan nada yang masih syarat akan kepedihan.
"Bagaimana pun dia Mama saya, dan satu-satunya orang tua yang saya miliki. Jadi, biarkan saya saja yang mengurus semuanya, untuk terakhir kalinya."
Berat sekali rasanya menerima kenyataan ini. Tapi, Sean tahu dia harus bisa segera bangkit. Karena memang ... tidak akan bisa mengulang apapun.
"Tapi, saya rasa anda--"
"Saya tidak apa-apa. Meski memang ini menyakitkan dan bukan hal mudah. Tapi semuanya harus saya terima, kan?" Sean menguatkan dirinya sendiri.
Melihat tekad Sean yang kuat. Ken dan Rara pun tidak bisa berkata apapun lagi, dan hanya berjanji akan membantu sebisanya.
"Ya sudah, biar saya urus surat kematian Mama Sulis dulu," kata Ken.
"Aku tunggu di sini aja ya, Mas. Takut kecapean dan ... mau nemenin Ina juga." Rara meminta ijin suaminya, sekaligus mengingatkan mereka semua pada keberadaan Ina, yang sedari tadi hanya berdiri menyimak tak jauh dari sana dengan mata dan hidung sudah memerah.
Gadis itu menangis dalam diam. Tak berani bersuara dan bergerak sedikit pun karena tidak tahu harus berbuat apa.
Sebenarnya, Ina ingin sekali menenangkan suaminya seperti yang Rara dan Ken lakukan. Hanya saja, Ina terlalu takut melakukan interaksi dengan Sean, karena tak ingin mendapat bentakan atau kemarahan pria itu lagi.
Ingat! Meski di sini Ina sudah menjadi istri Sean. Tapi pria itu tak pernah menganggapnya dan terpaksa melakukan pernikahan itu dengannya.
Semuanya demi kondisi sang Mama!
Karenanya, Ina menahan diri mendekati Sean, dan memeluknya meski sangat menginginkan hal tersebut. Juga membutuhkan dari Sean. Sebab di sini bukan hanya Sean yang bersedih, tapi juga Ina sebagai sang menantu yang punya hutang budi banyak.
"Tidak usah melibatkan dia dalam pemakaman Mama," ucap Sean tiba-tiba. Saat menyadari keberadaan gadis lugu itu.
Mendengar hal itu. Sontak saja Ina mengangkat wajah sendunya, dan menatap sang suami dengan alis bertaut bingung. Pun Rara dan Ken yang tak kalah bingung seperti Ina.
"Aku menikahinya demi Mama. Karena sekarang Mama sudah tidak ada. Maka ... kamu boleh pergi sekarang, Ina. Saya sudah tak membutuhkanmu lagi."
Degh!
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan yang Pertama (Terbit)
RomanceSequel Istri Nomor Dua Tersedia dalam bentuk ebook dan cetak Link ada di bio💜