Bab 24 Pemakaman

488 50 1
                                    

*Happy Reading*

"Kami pulang duluan, ya, bro! Rara tidak boleh terlalu lama ada di sini," ucap Ken, berpamitan saat melihat orang di pemakaman sore itu sudah semakin sepi.

Acara pemakaman memang sudah selesai semua sejak beberapa menit lalu. Namun Sean yang masih berduka enggan beranjak dari makam sang Mama, tanpa memperdulikan apapun lagi.

Bahkan, saat semua pelayat berpamitan dan pergi satu persatu, Sean tetap diam dan mengabaikan semuanya.

Hanya Mbok Darmi dan Ina yang mengucapkan terima kasih, sebagai basa basi semata.

Tanpa persetujuan Sean, Rara dan Ken memang sudah mengenalkan status Ina pada semua tamu yang datang. Karena toh, keberadaannya di sana lumayan asing, dan tentu saja menimbulkan tanya dari orang-orang yang mengenal keluarga Abdilla.

"Kakak juga jangan lama-lama di sini. Langitnya sudah mendung dan sepertinya akan segera hujan." Rara pun ikut menimpali.

Namun sayangnya, Sean tetap tak berkomentar apapun. Meski sebenarnya dalam hati lumayan bersyukur wanita itu tak semarah waktu di Rumah sakit.

Beruntung Rara punya suami Dokter kandungan. Hingga bisa sigap dan tepat mengatasi kondisinya waktu itu.

Ah, memang sudah sepantasnya wanita itu mendapat pasangan yang baik, yang bisa membahagiakannya selalu.

"Kami pamit," ucap pasangan itu berbarengan. Sebelum melangkah pergi meninggalkan rumah terakhir Mama Sulis.

Kini, yang tersisa tinggal Ina dan Mbok Darmi. Yang masih setia menemani Sean di sana.

Namun itu tidak berlangsung lama. Karena beberapa menit setelahnya hujan perlahan turun, membuat Mbok Darmi langsung mengajak Sean dan Ina pergi dari sana.

"Kalian duluan saja. Saya masih ingin di sini," tolak Sean acuh. Tanpa melirik Mbok Darmi sedikit pun.

Matanya terus saja menatap Nisan kayu yang bertuliskan nama Mamanya. Dengan tatapan kosong dan kehilangan arah.

Sesungguhnya. Masih terasa sulit untuk Sean menerima kenyataan ini. Karena dia belum siap dan memang tak akan pernah siap kehilangan Mamanya.

"Tapi, Den. Hujannya mulai deras. Nanti kalau aden sakit, gimana?" Mbok Darmi yang baik hati pun mengingatkan tuan mudanya.

"Tidak usah perdulikan saya. Saya bisa mengurus diri saya sendiri," jawab Sean ketus.

Tahu bagaimana watak sang Tuan Muda. Mbok Darmi pun memilih tak memperpanjang debatan, dan segera menarik Ina menjauh dari sana.

Ina hanya menurut saja. Meski sebenarnya berat meninggalkan Sean sendirian memandang kosong kuburan Mamanya. Tapi ....

"Jangan tinggalkan Sean apapun yang terjadi."

Langkah Ina pun sontak terhenti, saat tiba-tiba teringat pesan terakhir Nyonya Sulis.

Tidak benar! Ina tidak boleh meninggalkan Sean sendirian. Kalau pria itu nekad dan berbuat macam-macam, gimana?

"Kenapa berhenti, Non. Ayo jalan. Hujannya makin besar ini," tegur Mbok Darmi, menatap Ina dengan bingung.

Hujan memang sudah turun dengan deras. Membuat pakaian mereka basah semua, dan pandangan menjadi kabur.

"Non? Ayo!" Mbok Darmi menarik lengan Ina lagi.

"Saya ... saya ... saya mau menemani Pak Sean," jawab Ina akhirnya. Sebelum menarik balik tangannya.

"Tapi ini hujan, Non. Nanti kalau enon sakit, gimana?" Mbok Darmi mencoba membujuk.

"Gak papa. Bibik pulang duluan aja. Saya nanti pulang bareng Pak Sean." Ina bersukukuh.

"Tapi ...." Mbok Darmi meragu. Karena meski belum tahu apa yang terjadi antara Sean dan Ina. Mata tuanya cukup awas hingga bisa langsung menyadari ketidakberesan dihubungan anak majikannya ini.

"Ina gak papa, Bi. Bibi pulang aja, ya?" Ina berusaha meyakinkan Mbok Darmi dengan senyum palsunya.

Meski berat. Mbok Darmi pun akhirnya menyerah, karena ....

Terserah mereka saja. Toh, masalah dalam Rumah tangga sang majikan bukan ranahnya.

Selepas kepergian Mbok Darmi. Ina pun kembali ke tempat Sean dengan ragu. Karena takut di galakin pria itu lagi.

Tetapi ... mau bagaimana lagi. Ina juga tidak bisa mengabaikan permintaan terakhir Nyonya Sulis. Jadi, ya ... hadapi saja.

Sean yang masih khusyu menatap nanar nisan sang Mama pun menoleh perlahan, saat menyadari keberadaan seseorang di seberangnya.

Pria itu cukup terkejut. Saat matanya menemukan ternyata orang itu adalah Ina. Gadis yang sejak tadi diabaikannya dan sudah dia usir bersama Mbok Darmi.

"Ngapain kamu di sini?" tanya Sean dengan dingin.

Ina tidak menjawab. Gadis itu terlihat takut dan kebingungan di tempatnya. Namun, tetap saja dia bertahan di sana.

"Hujan, Pak," ucap gadis itu setelahnya. Benar-benar tidak sinkron sama sekali dengan pertanyaan Sean.

"Saya tahu. Karena itulah saya suruh kamu pulang tadi bersama Bi Darmi," jawab Sean masih ketus.

"Saya tidak punya payung." Alis Sean makin bertaut bingung mendengar ucapan gadis itu setelahnya.

Lalu hubungannya sama Sean apa?

Ingin sekali Sean meneriakin gadis itu dengan suara ketus andalannya. Namun pria itu sedang tidak mood bertengkar dengan siapapun.

"Makanya Bapak jangan lama-lama di sini, nanti Bapak sakit," lanjut Ina sambil memainkan ujung kerudung hitam yang dia kenakan hari ini.

"Saya sudah bilang jangan perdulikan saya. Saya bisa mengurus diri saya sendiri. Mending sekarang kamu pulang saja," titah Sean galak. Membuat Ina lumayan terkesiap di tempatnya.

"Sa-saya gak bisa," jawab Ina memberanikan diri, meski sebenarnya sudah ketakutan sekali dengan tatapan Sean. "Nanti kalau saya pergi, Bapak gimana?" Imbuhnya lagi.

"Saya bilang tidak usah urusi saya! Saya bisa jaga diri sendiri! Ngerti kamu?!" hardik Sean kemudian, mulai kesal kembali dengan istrinya yang ternyata cukup membangkang.

"Ta-tapi, sa-saya ... gak bisa." Ina makin menunduk ketakutan.

"Gak bisa apa? Tinggal pergi aja dari sini, apa susahnya? Jangan bikin saya makin membenci kamu, Ina. Saya benar-benar sedang tidak ingin melihat kamu!" maki Sean tanpa perasaan.

Sakit!

Sebenarnya sakit sekali harus lagi-lagi mendengar penolakan itu. Tapi, harus bagaimana? Ucapan terakhir Nyonya Sulis selalu terngiang di kepalanya.

"Pergi Ina! Saya tidak ingin melihat kamu!" usir Sean lagi.

"Tapi Bapak sekarang suami saya. Bagaimana mungkin saya abaikan?" lirih Ina kemudian, memberanikan diri menatap Sean dengan air mata yang tersamarkan dengan derasnya air hujan.

Sean pun terdiam. Meski matanya masih menatap tajam Ina. Namun sudah tidak bisa membentak lagi. Karena mulutnya seperti tercekat, saat melihat tatapan luka yang dia lihat di mata sewarna madu itu.

Sialan!

Kenapa hatinya jadi ikut sakit?

Bukan yang Pertama (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang